Ukraina dan Rusia tercatat sudah tiga kali melakukan perundingan untuk menghentikan perang. Namun pertemuan itu tak menuai hasil yang signifikan.
Pertemuan terakhir berlangsung pada Senin (7/3), Rusia sepakat gencatan senjata sementara, terutama di dua kota untuk memberi ruang warga sipil evakuasi.
Rusia juga bakal menghentikan serangan di lima kawasan Ukraina untuk membuka koridor kemanusiaan. Namun, sejumlah pihak ragu karena Rusia menembaki warga yang sedang evakuasi akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penembakan terjadi di beberapa titik, termasuk Mariupol dan Volnovkha. Padahal, Rusia dan Ukraina sudah menyepakati gencatan senjata di kedua kota tersebut.
Meskipun Rusia dianggap mengkhianati kesepakatan itu, Ubaedillah menilai manuver tersebut bagian dari proses damai. Ia terus menekankan agar Barat tak lagi memprovokasi Ukraina
"Yang lebih utama adalah sikap Barat (Amerika Serikat, khususnya) yang menghentikan provokasi," kata dia.
Sementara itu, pengamat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadi Sugiono, menilai invasi Rusia baru akan berhenti jika Ukraina berada di bawah kendali Kremlin.
"Keinginan Rusia adalah menjadikan Ukraina berorientasi ke Rusia dan tidak sebaliknya," kata Muhadi.
Pemerintah Ukraina, lanjutnya, bisa jatuh ke tangan Rusia dan digantikan oleh pemerintah boneka. Namun, bukan berarti perlawanan otomatis berhenti.
Ia juga menegaskan, yang betul-betul bisa menghentikan invasi Rusia ke Ukraina hanya Putin. Namun, ada alternatif lain yaitu jika perang mengalami eskalasi dan NATO terlibat di dalamnya.
Namun, alternatif ke dua amat berisiko menimbulkan Perang Dunia III. Muhadi juga memperkirakan sangat mungkin aliansi militer itu terlibat dalam perang yang berkecamuk di Ukraina.
"Sangat mungkin (NATO terlibat). Jika perang yang sekarang mengalami eskalasi dan entah sengaja atau tidak mengenai salah satu anggota NATO, perang bisa berkembang melibatkan NATO. Peluangnya sangat (besar) terutama jika senjata nuklir digunakan," papar dia.
(isa/bac)