Pada 2 Maret, jumlah tentara profesional yang pergi ke Ukraina melebihi seribu orang. Sekitar 100 diantaranya, disebut berasal dari Legiun Asing Prancis.
"Orang-orang dengan pengalaman militer signifikan yang juga bisa berbahasa lokal dari Slovakia, Polandia dan Latvia sudah pergi ke Ukraina," kata salah satu kontraktor.
Para kontraktor mengatakan, Ukraina melakukan tindakan yang cerdas dengan menerima orang asing yang punya pengalaman militer, terutama mantan pasukan khusus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan pasukan khusus tentu memiliki kemampuan tempur yang berbeda dari tentara biasa.
Pasukan khusus itu disebut akan efektif melawan tentara bayaran pro Rusia, Wagner.
Wagner dilaporkan memiliki kemampuan tempur yang tak kalah dengan tentara normal.
Tentara bayaran ini pernah terlibat dalam operasi di Suriah. Termasuk dua operasi untuk membebaskan kota kuno Palmyra, demikian dikutip The Guardian.
Pencapaian tentara Rusia di Suriah disebut sebagian besar karena pengorbanan tentara bayaran. Namun, fakta ini diabaikan oleh militer dan tak diketahui masyarakat luas.
Pasca-Suriah, kemasyhuran Wagner meningkat setelah melaporkan operasi di Republik Afrika Tengah dan Libya.
Selain tentara bayaran Wagner, warga Suriah juga disebut mendukung Rusia dalam perang di Ukraina. Bagi mereka kepergian ke Eropa Timur itu 'menyelamatkannya' dari penderitaan dan krisis yang terjadi di negaranya.
Seperti dikutip dari VOA, perang Rusia di Ukraina telah memperdalam krisis Suriah. Sebab, kedua negara ini merupakan sumber pasokan makanan dan mata pencaharian yang signifikan, terutama roti dan energi.
Mediator di Damaskus dan daerah lain yang dikelola pemerintah di Suriah mulai menandatangani kontrak dengan para pemuda yang bersedia perang bersama tentara Rusia di Ukraina.
Kontrak tersebut menjanjikan US$7.000 atau sekitar Rp100 juta. Syarat pertama kontrak adalah wajib militer dan tidak kembali ke Suriah selama tujuh bulan.
Daftar wajib militer baru mencakup sekitar 23.000 warga Suriah yang telah bertempur dalam formasi milisi bersama pasukan pemerintah Suriah.
Para pejuang ini pernah pergi berperang di bawah panji-panji Asosiasi Al-Bustan dan Pasukan Pertahanan Nasional (NDF).
Sayap militer Asosiasi Al-Bustan adalah milik sepupu ibu Presiden Suriah Bashar al-Assad, Rami Makhlouf, tetapi kemudian dibubarkan dan diambil alih oleh Damaskus.
Sementara itu, NDF didirikan bersama dengan Iran pada tahun 2012. NDF telah kehilangan daya tarik di medan perang setelah intervensi Rusia di Suriah pada 2015 lalu.
Banyak dari NDF berasal dari badan intelijen. Pada 2013 lalu, mereka berhasil membantu rezim dan pasukan sekutu mengusir kelompok pemberontak di kota Homs, Suriah tengah.
Mereka juga punya peran penting dalam merebut kembali pedesaan timur Damaskus dari pemberontak pada 2018 lalu.
Syarat kedua, pemerintah Suriah tidak ada hubungannya dengan kontrak ini.
Jika seorang rekrutan terbunuh, mereka tidak memenuhi syarat "Dana Martir" Suriah. Keluarga mereka juga tak akan menikmati hak istimewa apa pun.
Namun pengamat meragukan kemampuan tentara bayaran Suriah. Direktur peneliti di badan think tank asal Amerika Serikat, Foreign Policy Research Institute, mengatakan milisi Suriah itu tak mumpuni, tak terlatih dan tak berguna.
"Mungkin Rusia hanya butuh tubuh (lain) untuk berdiri lalu tertembak," kata Stein dikutip Wall Street Journal.
(bac/isa/bac)