Lebih lanjut, Sentimen agama juga mendasari dukungan publik Indonesia terhadap Rusia. Hal itu merujuk kondisi kanal media dan publikasi Rusia yang kerap menampilkan citra yang bersahabat dengan Islam beberapa tahun terakhir.
Putin diketahui sempat mengangkat tokoh muslim Ramzan Kadyrov sebagai Presiden Chechnya, negara bagian di Rusia. Sementara nama Ramzan begitu masyhur di kalangan Muslim, seiring sorotan media, termasuk media Indonesia.
Selain itu, sebuah kanal YouTube Indonesia menampilkan konten yang membuat Rusia juga dipercaya sebagai bangsa Rum yang akan beraliansi dengan Umat Muslim di akhir zaman. Hal itu diperkuat dengan kelompok Azov neo-Nazi Ukraina yang melumuri pelurunya dengan lemak babi dan akan ditembakkan ke pasukan Chechen Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini narasi yang beberapa tahun lalu sudah ada, dan tidak benar sebenarnya. Pandangan (Rusia adalah bangsa Rum) itu cocoklogi (mengada-ada) saja," kata Radit.
Sebaliknya, Rusia justru memiliki sejarah konflik yang panjang dengan negara Islam. Sebut saja masa invasi Soviet ke Afghanistan pada 1970-an dan perang Chechnya pada 1990-an. Kemudian, pada 2015 lalu militer Rusia juga menyerang Suriah. Hal itu memperkuat bahwa Rusia sebenarnya juga anti-islam.
Radit kemudian melanjutkan, sentimen publik Indonesia yang mendukung invasi Rusia ke Ukraina juga didasari kekecewaan terhadap negara barat yang cenderung membiarkan konflik Israel dan Palestina.
Sikap Amerika yang cepat memberikan sanksi kepada Rusia ketika invasi dimulai. Sementara, di sisi lain mendiamkan serangan Israel ke Palestina yang sudah berlangsung lebih dari 70 tahun, dinilai sebagai sikap standar ganda.
"Amerika bersikap standar ganda, harusnya kecam ini, kecam semua. Tapi apakah karena kita kecewa dengan perlakuan Barat, lalu kita mengiyakan dan membiarkan Invasi Rusia ke Ukraina terjadi, kan tidak bisa begitu. Kita bisa kritik Barat, di saat yang sama kita mendukung supaya Rusia berhenti menyerang Ukraina," kata Radit.
Terakhir, aspek penting lain yang mendorong banyaknya pandangan pro-invasi Rusia di Indonesia adalah minimnya akses informasi di masyarakat. Hal itu dipicu keterbatasan media untuk mengirimkan jurnalis ke lokasi konflik hingga menghasilkan berita yang kredibel.
Persoalan itu juga tak lepas dari rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia. Bias informasi menjadi hal berbahaya jika dikonsumsi mentah-mentah.
"Literasi digital kita memang masih rendah, masyarakat kita tidak dibiasakan mengecek sumber informasi yang lebih dalam dan kredibel," pungkasnya.
(khr/bac)