Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Menteri Keuangan Afghanistan, Khalid Payenda, bercerita tentang pengalaman hidupnya kini di Amerika Serikat setelah kabur dari negaranya.
Payenda kini berprofesi sebagai sopir taksi daring Uber demi menyambung hidup di Negeri Paman Sam setelah negerinya dikuasai Taliban.
Profesinya kini tentu perubahan besar bagi Payenda. Dahulu dia biasa mengatur dan mengawasi keuangan negaranya hingga US$6 miliar atau setara Rp86 Triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pejabat Afghanistan dahulu, ia kerap bepergian diantar sopir pribadi.
Sekitar tujuh bulan setelah Taliban menguasai Afghanistan, Payenda tampak duduk di kursi sopir mobil sedan Honda Accord. Ia begitu fokus memantau aplikasi Uber melalui telepon selulernya di tengah hiruk-pikuk jalanan Washington, DC, AS.
Sesekali ia menggeser layar telepon pintar miliknya untuk memeriksa orderan yang ingin menggunakan jasa taksi Uber.
Payenda tengah mengejar jumlah trip hari itu demi mengejar tambahan dari bonus sebagai sopir taksi online
"Saya bisa mendapatkan bonus US$95 dalam dua hari ke depan jika bisa menyelesaikan hingga 50 trip," tutur Payenda dalam wawancara kepada Washington Post.
Ia memilih menjadi sopir Uber karena tabungannya untuk memenuhi kebutuhan empat anak dan istrinya mulai menipis. Meski demikian, Payenda merasa bersyukur masih bisa mencari nafkah dalam kondisi aman di AS.
"Itu artinya saya tidak harus putus asa," kata lelaki 40 tahun itu.
Menjadi sopir taksi online juga jadi pelarian atas pikirannya yang kerap berkecamuk memikirkan tragedi di negara kelahirannya. Payenda pernah stres memikirkan kelaparan, bencana kekeringan, keruntuhan ekonomi, yang dialami warga Afghanistan.
AS pernah menjanjikan perubahan yang lebih baik ketika menduduki Afghanistan. Negara itu berjanji menjadikan Afghanistan lebih demokratis dan moderat. Washington juga mengklaim sudah memberikan segala bantuan kepada rakyat dan pemerintah Afghanistan untuk lebih mandiri dan kuat.
Namun, Presiden AS Joe Biden pernah mengungkapkan kekecewaan bahwa pemerintah Afghanistan tak mampu menyambut baik bantuan itu sehingga negaranya jatuh ke dalam keterpurukan dan kembali dikuasai Taliban.
"Sekarang apa yang terjadi? Para pemimpin Afghanistan menyerah dan meninggalkan negara mereka. Kami memberikan mereka segala instrumen yang dibutuhkan. Kami memberikan semua kesempatan kepada mereka untuk menentukan masa depan sendiri," kata Biden.
"Apa yang tidak bisa kami berikan adalah keinginan untuk berjuang demi masa depan," tutur Biden lagi.
Penyesalan dan kekecewaan itu pula yang terus dibawa Payenda. Ia turut menyalahkan kompatriotnya atas keruntuhan Afghanistan saat ini.
"Kami tidak memiliki keinginan bersama untuk melakukan reformasi secara serius," kata Payenda.
Payenda juga menyalahkan AS yang dengan begitu mudah memberikan kembali kekuasaan kepada Taliban dan mengkhianati nilai-nilai perjuangan mereka. Ia pun menyalahkan diri sendiri pada akhirnya.
Payenda merasa terperangkap antara kehidupan lamanya dengan impian untuk masa depan Afghanistan dan kehidupan baru di AS yang sama sekali tidak ia harapkan.
"Ini benar-benar menggerogoti dari dalam. Saya merasa tidak menjadi bagian di sini dan di sana. Saya merasakan kehampaan," tutur Payenda.