Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kerap melontarkan pujian terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin, terlebih saat invasi. Pengamat menyebut gelagat Trump bisa jadi amunisinya untuk melaju ke Pemilu AS pada 2024.
Trump sendiri secara undang-undang masih bisa mencalonkan kembali untuk jabatan Presiden AS.
Sesaat sebelum Rusia melancarkan invasi, Putin mengakui dua wilayah di timur Ukraina yang dikuasai kelompok separatis pro-Moskow, Donetsk dan Luhansk. Trump kemudian menyebut tindakan itu genius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bilang 'ini genius.' Putin mendeklarasikan sebagian besar wilayah Ukraina. Putin menyatakan kemerdekaan mereka. Oh, itu luar biasa," ujar Trump dikutip AFP Februari lalu.
Sebetulnya kedekatan Trump dan Putin tercermin sejak lama, bahkan sebelum pengusaha dan politikus Partai Republik itu menjabat sebagai presiden 2016 lalu.
Pada Maret 2021 lalu, Trump pernah mengisyaratkan akan kembali maju pemilihan presiden Negeri Paman Sam.
Ia mengaku berkomitmen membantu sesama politisi Partai Republik untuk menguasai kursi di parlemen dan senat dalam Pemilu 2022 lalu.
"Saya pikir kami memiliki peluang yang sangat, sangat bagus untuk mengambil kembali DPR. Anda memiliki peluang bagus untuk mengambil kembali Senat dan terus terang, kami akan membuat keputusan [untuk maju sebagai capres] setelah itu," kata Trump dalam wawancara dengan Fox News, Selasa (16/3) seperti mengutip Reuters.
Trump juga memanfaatkan ribut-ribut AS dengan Rusia terkait invasi di Ukraina sebagai momen untuk menjatuhkan lawan politiknya, Presiden AS Joe Biden. Ia bahkan secara terbuka meminta bantuan Putin untuk membuka dokumen dugaan skandal bisnis putra Biden, Hunter Biden, di Rusia.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila, menyatakan tindakan dan kedekatan Trump dengan pemimpin Rusia sekarang bisa jadi amunisi di Pilpres AS.
"Bisa dikatakan seperti itu (memanfaatkan momen untuk maju Pilpres), jika dia lolos dan dicalonkan konvensi Partai Republik," kata Fahmi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/3) saat ditanya soal apakah sikap Trump hari ini bisa menjadi bahan dia melaju ke Pilpres 2024.
Fahmi menilai, sikap Trump yang kerap mengoceh soal Rusia juga agar ia tak kehilangan panggung politik. Kedua orang ini, menurutnya, punya misi masing-masing.
"Trump punya kepentingan dia memenangkan Pilpres, Putin punya kepentingan AS tidak 'mengganggu' kepentingan-kepentingan Rusia," lanjut Fahmi.
Rusia selama ini cemas sejak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang mana AS punya kendali kuat, memperluas pasukan militer di Eropa Timur. Ia juga khawatir, Ukraina bergabung ke blok ini. Sebab, negara itu bisa menjadi pangkalan NATO untuk menembakan rudal ke Tanah Beruang Merah.
Adapun Trump hingga kini masih kecewa dengan kekalahannya di Pilpres 2020 lalu. Kedekatan dia dengan Putin semakin terlihat saat invasi Rusia ke Ukraina. Terlebih, Biden sempat membuat pernyataan yang menyebut Putin tak layak lagi berkuasa karena terus menggempur Ukraina.
Trump juga masih kecewa dengan kekalahannya di Pilpres 2020 lalu. Kedekatan dia semakin terlihat saat invasi Rusia ke Ukraina. Terlebih, Biden sempat membuat pernyataan yang menyebut Putin tak layak lagi berkuasa karena terus menggempur Ukraina.
"Momen pernyataan kontroversi Biden ini dimanfaatkan Trump sebagai suatu kesalahan kebijakan Biden," ucap Fahmi.
Sebelumnya, Trump pernah mengatakan Rusia tak akan melancarkan agresi jika dia menjadi presiden atau saat dirinya memimpin Amerika.
Beberapa pihak menilai naiknya Trump ke pucuk kekuasaan AS tak lepas dari sokongan Putin. Saat menjabat pun, ia dilaporkan enggan menjatuhkan sanksi ke Rusia.
Hubungan Washington dan Moscow, juga semakin mesra.
Badan Intelijen Rusia (KGB) diduga terlibat dalam Pilpres AS. Namun, hal ini masih menjadi misteri. Sebab saat Trump memimpin, ia memecat Direktur Badan Intelijen Washington (FBI) yang saat itu tengah melakukan penyelidikan.
Sementara itu, menurut Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, sikap Trump yang dekat dengan Rusia menuai sejumlah manfaat bagi dia.
Pertama akan memperkuat kredibilitas Trump di kalangan masyarakat kulit Putih dan masyarakat konservatif di AS. Kedua, langkah itu sekaligus bahan kampanye Trump yang disebut punya kesamaan karakter dengan Putin. Mereka dianggap sama-sama teguh, kharismatik, dan berani mengambil keputusan saat krisis
"Trump ingin menjadikan hubungan pribadinya yang baik dengan Putin sebagai aset masa depan dalam bersaing secara global dengan China," jelas Rezasyah.
Lebih lanjut, Rezasyah mengatakan pebisnis AS itu mengambil langkah demikian lantaran kesulitan membangun hubungan yang kuat dengan pimpinan China.
Sementara itu, Putin, yang punya pengalaman intelijen puluhan tahun sangat wajar terus memerhatikan sepak terjang Donald Trump sebelum memerintah, saat memerintah, dan saat ingin kembali memerintah.
Putin juga disebut mengagumi Trump, yang dinilai sangat terbuka dan berani.
"Tampaknya terlepas dari persaingan global kedua negara, terdapat chemistry diantara keduanya. Karena jika berunding dengan Trump, Putin telah memiliki bank data yang sangat luas dan mendalam, termasuk sisi-sisi psikologis dari Trump," papar Rezasyah.