Pihak militer Arab Saudi dan pasukan koalisi memilih gencatan senjata dengan pemberontak Houthi pro-Iran di Yaman selama bulan Ramadan ditambah sebulan lagi.
Pihak militer AS menyambut baik kesepakatan dua pihak itu untuk gencatan senjata selama Ramadan.
Seorang pejabat AS menilai gencatan senjata antara koalisi pimpinan Arab Saudi dan kelompok Houthi yang dilakukan pada Sabtu (3/1), merupakan langkah pertama untuk menyetop konflik di Yaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari pertama Ramadan dimulai pada Sabtu (3/1) di sejumlah negara Arab dan umat Muslim mulai melangsungkan ibadah puasa.
"Jika komunitas internasional dan pihak yang terlibat bisa bekerja sama, ini dapat berkembang menjadi gencatan senjata permanen dan proses politik inklusif yang akhirnya membentuk Yaman baru," kata Utusan Khusus AS untuk Yaman, Tim Lenderking, dalam wawancara yang dilangsungkan di Amman, dikutip dari Reuters.
"Kami ingin membangun momen penting untuk membantu Yaman mengubah keadaan," lanjutnya.
Selain itu, Lenderking menilai gencatan senjata tersebut merupakan puncak dari upaya diplomasi AS dan kesadaran kelompok Houthi bahwa mungkin tidak akan ada kemenangan militer secara langsung.
"Dinamika medan tempur berubah, semua hal itu bergabung dan membentuk apa yang disebut momen penting," katanya lagi.
Lenderking mengatakan pihak Arab Saudi dan Houthi telah mengesampingkan gagasan kemenangan militer mereka.
Lenderking juga meyakini gencatan senjata itu merupakan kesempatan bagi Iran untuk menunjukkan itikad baik mereka mendukung upaya perdamaian yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Washington menuduh Iran sebagai pemberi dukungan yang signifikan terhadap kelompok Houthi.
"Kami ingin melihat Iran beranjak dari taktik negatif mereka dan peran yang mereka mainkan sampai saat ini," kata Lenderking.
Konflik yang terjadi di Yaman ini sering dilihat sebagai perang proksi antara Arab Saudi dan Iran. Perang ini telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan orang kelaparan.