Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Rusia, Vladimir Putin, sepertinya semringah karena dua sekutunya di Eropa timur menang dalam Pemilu pekan lalu, di tengah agresi yang masih berlangsung.
Mayoritas negara di Eropa timur dikabarkan dekat dengan Rusia termasuk Hungaria dan Serbia. Beberapa waktu lalu dua negara itu menggelar Pemilu.
Petahana Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban dan partai nasionalisnya Fidesz menang telak dalam pemilu. Orban merupakan pemimpin yang dikenal otoriter dan sekutu dekat Putin. Tak lama setelah menang, pemimpin Rusia itu segera memberi ucapan selamat kepadanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenangan Orban juga bisa menjadi kemenangan simbolis Putin mengingat Hungaria merupakan salah satu anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa. Dua organisasi yang membuat Putin kesal.
Putin semakin merasa punya teman di tengah isolasi Barat lantaran sekutu dekatnya di Serbia, Aleksandar Vucic, bertahan sebagai kepala negara dalam pemilu akhir pekan lalu.
Apa dukungan pemimpin Serbia dan Hungaria pro-Putin itu kepada Rusia di tengah invasi negara tersebut ke Ukraina?
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila, mengatakan pemimpin Hungaria dan Serbia akan berada di pihak Rusia. Namun, mereka sekadar memberikan solidaritas untuk Putin tanpa melakukan aksi militer ikut menyerang Ukraina.
"[Mereka] membela kebijakan putin pastinya, menambah dukungan kepada Moskow dalam perang Rusia-ukraina," kata Fahmi saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (6/4) malam.
Dukungan itu tercermin saat Orban menyampaikan pidato kemenangannnya. Ia mengatakan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sebagai salah satu musuh yang harus ditaklukkan.
"Kami punya semacam kemenangan yang bisa dilihat dari langit, tapi yang pasti itu juga bisa dilihat dari Brussel [NATO]" ujar Orban dikutip CNN, Senin (4/4).
Orban dan partainya, yang meraup 56 persen suara di parlemen, akan mengingat kemenangan ini sampai akhir hidup.
"Karena kami harus berjuang melawan musuh, lawan dalam jumlah besar," tegas dia.
Soal kemungkinan dukungan pasukan cadangan dari Serbia dan Hungaria ke Rusia, baca di halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Meski Hungaria berada di pihak Rusia, Fahmi menilai mereka tak sampai mengerahkan pasukan militernya ke Ukraina.
"Untuk pengiriman pasukan seperti Belarus saya rasa belum kearah itu ya," jelas dia.
Senada dengan Fahmi, menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Achmad Ubaedillah, mengatakan kemenangan pemimpin Hungaria dan Serbia memberi warna bagi Putin.
"Kemenangan dua pimpinan negara pro Putin ini memberi semangat baru bagi Putin. Putin merasa tidak sendirian," kata dia.
Namun, lagi-lagi mereka juga tak bisa banyak berbuat untuk Putin, paling mentok dalam bentuk solidaritas.
"Mereka bisa memahami kegundahan Rusia atas sikap Ukraina dan serangan Rusia terhadap Ukraina, tapi mereka juga tidak mau terlibat langsung membantu secara militer," jelas Ubaedillah.
Tindakan yang saat ini bisa dilakukan Hungaria adalah mendukung investigasi soal penemuan ratusan mayat dalam kondisi mengenaskan di kota sekitar Kyiv itu, demikian menurut Fahmi.
"Mereka [Hungaria dan Serbia] mendukung Putin dalam hal ini supaya dibuka penyelidikan terkait pembantaian Bucha, karena Rusia dipojokkan dalam kasus ini," tutur dia.
Pekan lalu, pemerintah Ukraina melaporkan menemukan ratusan mayat yang berserakan di kota Bucha Ukraina. Mereka menuduh pasukan Rusia melakukan pembantaian tersebut.
Beberapa pihak termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyerukan investigasi independen soal temuan tersebut.
Dalam kasus itu, PBB menilai kemungkinan ada kejahatan perang. Namun lembaga ini tak bisa memastikan siapa saja korban yang tewas dan penyebabnya, sehingga perlu penyelidikan lebih lanjut.
Tempo hari, Rusia membuka investigasi untuk membuktikan laporan pembantaian warga sipil di kota-kota dekat ibu kota Ukraina itu, termasuk Bucha.
Hasil penyelidikan Rusia itu menyebut temuan mayat dari pejabat Ukraina adalah palsu.
Terbaru, Putin 'mengadu' ke Orban dengan menyebut Ukraina menjadi dalang provokasi yang kasar dan sinis menyoal pembantaian di Bucha. Negara ini juga menuding Barat menyebarluaskan propaganda.
"Putin memberitahu Orban soal situasi dan masalah antara Rusia dan Ukraina. Ia memberikan penilaian soal provokasi kasar dan sinis yang dilakukan rezim Kyiv di kota Bucha," demikian menurut Kremlin dikutip AFP, Rabu (6/4).
Dukungan dari Belarus dan Georgia
Sementara itu, secara umum negara pro-Putin di Eropa Timur akan mendukung Rusia terkait penyelidikan di Bucha.
Hanya segelintir negara di kawasan itu yang membantu Rusia untuk berkonfrontasi langsung dengan pasukan Ukraina. Mereka yakni Belarus dan kemungkinan Georgia.
Belarus memang menjadi 'pangkalan' militer Rusia sebelum melancarkan invasi. Kedua negara ini juga sempat menggelar latihan militer bersama.
Beberapa pihak menyebut Belarus mengerahkan pasukan untuk membantu tentara Moskow di Ukraina, namun hingga hari ini belum jelas apakah mereka sudah bergerak atau masih siap-siap.
Adapun menyoal Georgia, kemungkinan negara ini mengirim pasukan. Fahmi berkata, "Kemungkinan iya [mengirim pasukan], sembunyi-sembunyi bisa jadi."
Pada 2008 lalu, Georgia juga pernah mengalami apa yang kini dirasakan Ukraina: invasi Rusia. Perang berkecamuk selama lima hari di Ossetia selatan.
Ossetia ingin memisahkan diri dari Georgia dengan dukungan Rusia. Di samping itu, negara tersebut juga ingin bergabung dengan NATO. Namun hingga kini keinginan itu belum tercapai dan Kremlin terlebih dahulu berhasil mengendalikan Georgia.
Menyusul dugaan pembantaian Bucha, Fahmi memperkirakan akan ada perang dingin jilid II antara Amerika Serikat dan Rusia.
"Bukan cuma [dipicu) Bucha, yang jelas perang dingin babak baru AS dan Rusia. AS mempercepat pengembangan rudal hipersonik, enggak mau kalah dengan Rusia contohnya. Sekarang media Barat kompak 'menggempur' Rusia misal kasus Bucha," tutur dia.