Sri Lanka tengah menghadapi krisis besar mulai dari ekonomi hingga politik karena pinjaman yang melambung dan salah kaprah mengelola finansial negara.
Pengamat mengatakan akar krisis di SriLanka karena pemerintah yang tak becus urus ekonomi sehingga menciptakan defisit dan kekurangan anggaran.
"Kekurangan anggaran menandakan pengeluaran nasional suatu negara melebihi pendapatan nasional dan produksi barang-jasa yang bisa diperjualbelikan tak cukup memadai," demikian menurut Asian Development Bank dikutip Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis ekonomi bergulir begitu cepat saat Presiden Sri Lanka, Rajapaksa telah memangkas pajak sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi pada 2019 lalu. Namun langkah ini disebut gagal mendongkrak perekonomian negara.
Setahun kemudian pandemi Covid-19 datang. Wabah ini semakin membuat krisis di Sri Lanka mencapai puncak. Industri pariwisata dan pengiriman uang pekerja asing (dana remittance) lesu.
Program manajemen utang Sri Lanka pun tergelincir dan cadangan devisa anjlok hampir 70 persen salam dua tahun.Lembaga pemeringkat kredit lalu menurunkan peringkat Sri Lanka dan secara efektif mengisolasi negara ini dari pasar modal.
Februari lalu, Sri Lanka hanya memiliki cadangan US$2,31 miliar namun harus membayar utang sebesar US$4 miliar pada 2022.
Krisis valuta asing, lonjakan harga makanan, obat-obatan hingga bahan bakar membuat Sri Lanka meminta bantuan dana ke IMF.
Lihat Juga : |
Krisis ekonomi berbuntut gejolak politik dan sipil, baca di halaman berikutnya...Kekurangan mata uang asing membuat pemerintahan Rajapaksa tak mampu membayar impor penting. Salah satunya adalah bahan bakar yang menyebabkan pemadaman listrik selama 13 jam.Selain IMF, Rajapaksa juga meminta bantuan dari China dan India, khususnya bahan bakar.