Jakarta, CNN Indonesia --
Survei dari lembaga think-tank asal Australia, Lowy Institute, baru-baru ini menemukan fakta menarik soal bagaimana masyarakat Indonesia melihat perkembangan dunia termasuk soal gelagat pemimpin negara lain.
Dalam survei berjudul Charting Their Own Course: How Indonesians See the World, Lowy Institute menemukan bahwa orang Indonesia semakin tidak percaya pada negara-negara besar dalam satu dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lembaga tersebut mencatat penurunan kepercayaan yang substansial dari warga Indonesia terhadap Amerika Serikat, Cina, Jepang, Australia, dan India.
Hal unik lainnya, survei memaparkan bahwa warga Indonesia banyak yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap rezim otoriter terlepas dari komitmen mereka terhadap demokrasi.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 3.000 penduduk Indonesia 17 hingga 65 tahun itu, sebanyak 57 persen responden memiliki tingkat kepercayaan tinggi kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS). Ini membuat sang penerus takhta kerajaan Saudi itu menjadi pemimpin asing yang paling dipercaya warga RI.
Di peringkat kedua, sebanyak 52 persen responden memiliki kepercayaan pada Putra Mahkota Uni Emirat Arab dari Abu Dhabi, Sheikh Mohamed bin Zayed (MbZ). Responden mengungkapkan tingkat kepercayaan yang tinggi ini terlepas dari agama yang mereka nyatakan.
Dalam survei itu tingkat kepercayaan warga Indonesia cenderung lebih rendah terhadap Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida (45%), Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (44%), dan Presiden AS Joe Biden (44%).
Sementara itu, empat dari sepuluh responden (40%) memiliki kepercayaan pada Presiden Rusia Vladimir Putin. Perlu dicatat bahwa survei ini dilakukan sebelum invasi Moskow ke Ukraina pada Februari lalu.
Namun, Putin terus menjadi sorotan warga Indonesia sejak melancarkan agresinya ke Ukraina. Alih-alih mengecam, warganet Indonesia di media sosial justru cenderung banyak yang mendukung dan menaruh kekaguman terhadap Putin.
Tak hanya Putin, Indonesia juga dikenal memiliki banyak pengagum Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Laporan Lowy Institute pada 2016 lalu menunjukkan sejumlah murid RI memandang Erdogan sebagai panutannya. Dari 40 murid Indonesia di Mesir dan Turki yang diwawancara, sebanyak 17 orang menganggap Erdogan panutan mereka.
Bahkan, beberapa dari mereka menilai ketegasan Erdogan bakal membawa lebih banyak hasil untuk Indonesia ketimbang demokrasi.
Selain itu, sebuah halaman Facebook buatan warga RI yang mendukung Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mencapai lebih dari 250 ribu pengikut pada 2017. Akun tersebut bernama Sahabat Erdogan dan dibuka pada 2014 oleh empat fans pemimpin Turki itu.
"Kami membuka akun ini untuk memberitakan informasi langsung ke Indonesia terkait Erdogan," kata seorang fans, Gibraltar Hilal, dikutip dari kantor berita Anadolu.
"Muncul beberapa berita yang tidak akurat, diteruskan oleh media asing, melawan Turki dan Erdogan di negara kami. Kami mencoba mencegah hal ini," lanjutnya.
Lantas, apa yang membuat masyarakat Indonesia terlihat lebih menyukai para pemimpin kontroversial ini?
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair), Radityo Dharmaputra, mengatakan kekaguman warga RI terhadap Putin disebabkan mayoritas karena pembawaan dan citra sang penguasa Rusia tersebut.
Menurutnya, warga Indonesia kagum dengan pemimpin yang berkarakter kuat dan tegas, sementara itu Putin dinilai memiliki kedua kriteria tersebut. Citra Putin juga dinilai mirip dengan Presiden Pertama RI, Soekarno.
"Yang muncul, Putin adalah mantan intelijen. Sementara, Presiden Ukraina [Volodymyr Zelensky adalah mantan] komedian. Seakan-akan kalau mantan intelijen bisa jadi pemerintah, sedangkan komedian jadi presiden kan dianggap negaranya enggak benar," kata Radityo.
Menurutnya, warga Indonesia memiliki persepsi bahwa pemimpin harus tegas dan berani.
"Sepertinya banyak romantisme masa lalu ya, terutama romantisme bahwa Indonesia itu bangsa besar, pemimpinnya juga harus kuat dan berani berbicara di forum-forum internasional. Kita selalu melihat yang namanya pemimpin itu harus tegas, harus berani," kata Radityo saat diwawancara, Selasa (12/4).
Tak hanya itu, Radityo menilai logika kepemimpinan masyarakat Indonesia berfokus pada penyelesaian masalah dilakukan oleh pemimpin. Selain itu, Radityo mengatakan ia mengerti alasan masyarakat RI mencari pemimpin yang tegas, mengingat Indonesia merupakan negara besar dan majemuk.
"Kita ingin problem-problem masyarakat Indonesia diselesaikan oleh orang yang kita pilih sebagai pemimpin. Ini agak beda mungkin ya, logika leadership kita, terutama di Indonesia, dengan masyarakat yang sangat majemuk, jumlahnya banyak, secara etnis juga berbeda-beda. Kita butuh orang yang bisa menangani segala perbedaan itu, dan biasanya perbedaan itu ditangani dengan cara yang agak otoriter," ujarnya lagi.
Meski demikian, Radityo menyinggung bahwa kepemimpinan otoriter bukan berarti lepas dari masalah.
"Tapi kadang masyarakat lupa pemimpin otoriter datang dengan sebagai macam masalah lain," tuturnya.
Sementara itu, Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai ketertarikan warga RI terhadap pemimpin kontroversial ini pun tak lepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Yon menyoroti pandemi Covid-19 membuat ekonomi negara berantakan.
"Sebenarnya sih secara global ada semacam tren global dengan dinamika politik, bahwa kondisi saat ini yang berpotensi pada krisis global akibat pandemi yang cukup panjang, dan itu juga menghantam aspek ekonomi, maka orang cenderung menginginkan adanya kepastian. Baik dari sisi ekonomi maupun politik," kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (12/4).
Kepastian ini, menurut Yon, bisa diraih oleh pemimpin-pemimpin berkarakter tegas seperti MbS, Erdogan, maupun Putin.
"Ekonomi tidak berjalan apabila tidak ada stabilitas politik. Nah pemimpin-pemimpin yang cenderung 'menunjukkan sisi otoriter' dalam kondisi krisis maka lebih disukai, karena mereka bisa secara tegas membuat sebuah keputusan yang penting bagi sebuah negara atau bangsa," lanjutnya.
Selain itu, Yon berpendapat sosok pemimpin yang percaya diri menyuarakan kepentingan negaranya juga kerap disukai masyarakat saat ini.
"Yang kedua adalah bagaimana pemimpin itu dianggap bisa menyuarakan kepentingan nasional suatu bangsa atau negara, di dunia internasional disebut percaya diri, seperti Erdogan, Putin, maupun MbS dalam hal menyuarakan kepentingan negaranya. Sosok-sosok di masa kritis itu cenderung disukai karena rakyat ingin segera keluar dari pandemi, ingin kembali bangkit ekonominya, sehingga kadang wacana-wacana demokrasi agak sedikit dikesampingkan demi untuk memperkuat kembali ekonomi," jelasnya.
[Gambas:Photo CNN]