Dalam laporan tersebut, AS menilai ada peningkatan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat adat ketika masyarakat adat ingin mengakses hak atas tanah tradisionalnya.
AS menyebut pemerintah gagal mencegah perusahaan yang seringkali berkolusi dengan aparat keamanan untuk merambah tanah masyarakat adat.
"Pejabat pemerintah pusat dan daerah juga diduga menerima suap dari perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai imbalan atas akses tanah dengan mengorbankan masyarakat adat," bunyi laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak berhenti sampai di situ, laporan itu menyebutkan kegiatan pertambangan dan penebangan ilegal kerap menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan hukum yang signifikan bagi masyarakat adat.
Salah satu LSM melaporkan hanya 93 mil persegi dari 38.610 mil persegi yang diusulkan telah diberikan kepada kelompok adat setempat pada Januari 2021. Namun, perusahaan besar dan pemerintah terus menggusur individu dari tanah leluhur masyarakat adat tersebut.
AS menduga ada represi digital, termasuk doxing hingga pembatasan internet yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dugaan ini mereferensi temuan LSM SAFEnet yang mencurigai pemerintah membatasi layanan internet empat kali di Papua dan Papua Barat pada 2020.
Hasilnya layanan internet di wilayah itu tidak dapat digunakan secara efektif.
Pembatasan ini dilakukan menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juni 2020, yang menyatakan otoritas melebihi kewenangan dalam membatasi layanan internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019.
Lihat Juga : |