Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, mengatakan bahwa negaranya tertinggal dari Indonesia dalam pembangunan.
"Saya siap menerima bahwa, di bidang pembangunan, Malaysia tertinggal dengan Indonesia dan Vietnam akhir-akhir ini. Tentu saja kita terus berada di belakang Singapura," ujar Mahathir dalam cuitan Twitter-nya, Senin (18/4).
Mahathir juga mengaku syok karena mengetahui pembangunan di Malaysia tertinggal dari beberapa negara Afrika.
Lantas, apa masalah yang menggelayuti Malaysia sehingga Mahathir berkicau tentang persoalan negaranya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai pembangunan Malaysia terhambat karena masalah stabilitas politik akibat kasus korupsi.
"Beberapa tahun terakhir Malaysia mengalami masalah stabilitas politik karena kasus korupsi. Pembangunan infrastruktur tidak segencar seperti di Indonesia," ujar Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).
Malaysia berada di peringkat 62 dari 180 negara dalam penilaian negara-negara bersih dari kasus korupsi pada 2021, dikutip dari Transparency.
Tak hanya itu, skor kebersihan Malaysia dari korupsi pada 2021 adalah 48. Ini mengindikasikan kasus korupsi di Malaysia masih buruk, mengingat skor penilaian yang digunakan adalah 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Tentang korupsi di Malaysia dan persoalan kultural, baca di halaman selanjutnya...
[Gambas:Video CNN]
Pihak Transparency juga menilai Malaysia masih belum bisa mengatasi korupsi besar.
"Negara-negara yang berada di peringkat tengah indeks, seperti Malaysia, Indonesia, dan Maldives berhadapan dengan tantangan yang lebih kompleks: korupsi besar," demikian pernyataan dari Transparency.
Menurut Transparency, korupsi besar merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang membawa keuntungan bagi segelintir orang, tetapi merugikan banyak orang. Korupsi ini dapat menghancurkan seluruh sektor, menyebabkan resesi, dan mengakhiri demokrasi.
Selain itu, Malaysia memiliki sentimen melayu dan non melayu yang kuat. Sentimen ini membuat masih ada perpecahan dalam komunitas Malaysia.
"Walaupun Malaysia memiliki slogan One Malaysia, tetapi potensi kegaduhan politik berdasarkan etnik dan asal usul juga sangat kuat. Peran negara menjadi sangat kuat, tetapi begitu pemerintahnya lemah maka potensi destabilitas politik semakin terbuka," tutur Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi.
"Artinya begitu konflik politik menguat karena munculnya sentimen etnik, maka akan mengganggu fokus pemerintah dalam pembangunan. Seringnya pergantian pemerintahan karena bergantinya perdana menteri dan jajarannya tentu berpengaruh dalam pembangunan Malaysia karena ketidakpastian politik yang akan mengganggu perkembangan ekonomi," lanjutnya.
Sementara itu, pengamat lain menilai etnis monokultur di Malaysia menyebabkan sulit berkembangnya inovasi. Padahal, inovasi merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan.
"Malaysia terlalu monokultur dalam agama dan kewargaan - ada etnis lain tapi yang utama bumiputera (Melayu). Dalam kondisi demikian akan sulit berkembang ide-ide inovatif. Beda dengan Indonesia yang multikultur," ujar Pengamat Hubungan Internasional UI, Suzie Sudarman, saat diwawancara CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).