Finlandia baru-baru ini memutuskan untuk bergabung dengan Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (NATO). Niat itu muncul setelah melihat Rusia menginvasi Ukraina.
Menteri Finlandia untuk urusan Eropa, Tytti Tuppurainen, mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina menjadikan waktu yang tepat bagi negaranya masuk ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
"Rusia yang telah menginvasi Ukraina. Sekarang, masyarakat melihat realitas baru ini dan waktunya tiba untuk [Finlandia] bergabung ke NATO," kata Tuppurainen kepada CNN, Senin (9/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak pihak meyakini salah satu alasan Finlandia selama ini enggan bergabung ke NATO adalah karena sikap pragmatis mereka terhadap Rusia. Sebab, Finlandia merupakan bekas wilayah Rusia.
Pada 1917, Finlandia baru mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka dan bukan lagi bagian dari wilayah kekaisaran Rusia yang dulu disebut Grand Duchy of Finland (Kadipaten Agung Finlandia).
"Kebijakan keamanan Finlandia selalu berdasarkan pada dua konsep, pertama, geografi dan sejarah, kedua, idealisme dan realisme," kata mantan Perdana Menteri Finlandia, Alexander Stubb.
"Dalam suasana ideal, kami ingin bekerja sama dengan Rusia, mengingat mereka adalah tetangga geografis kami. Namun, kami tahu dari sejarah bahwa ancaman realistis terbesar untuk keamanan nasional kami adalah Rusia. Seiring berjalannya waktu, keinginan Rusia untuk membentuk kerusakan yang lebih besar di wilayah kami menjadi semakin jelas, jadi bergabung dengan NATO merupakan opsi pragmatis," katanya.
Secara historis, selama ini Finlandia berupaya menyelaraskan dua realitas berbeda ini dengan menuruti kekhawatiran Rusia soal keamanan meski terkadang tidak rasional. Di saat bersamaan, Finlandia tetap meningkatkan kapabilitas pertahanannya sendiri.
Selain itu, Helsinki juga tetap berupaya menempatkan posisi yang cocok dengan sekutu negara Barat.
"Itu merupakan gagasan gila, ide bahwa negara Barat bakal menginvasi Rusia, tetapi kami mencoba mengurangi kekhawatiran itu dengan meningkatkan penjualan dan kerja sama di daerah lain," kata peneliti di Institut Hubungan Internasional Finlandia, Charly Salonius-Pasternak.
Ia juga berpendapat bahwa ideologi umum Finlandia adalah menyelamatkan diri.
"Ideologi bawaan Finlandia adalah menyelamatkan diri. Dalam 100 tahun terakhir, kami telah menjadi negara kuat, berdaulat, dengan standar kehidupan tinggi. Kami pernah menyerahkan lahan kami demi menjaga perdamaian," kata Salonius-Pasternak.
"Maka dari itu, sangat penting kebiasaan hidup kami tetap terjaga, entah lewat diplomasi pragmatis atau mengambil kebijakan yang lebih tegas terhadap ancaman terbesar kami," lanjutnya.