Tak hanya itu, Zafran menceritakan biaya rumah tangga di AS bisa mengeluarkan tambahan US$400 sampai US$500 ketimbang biasanya.
"Katakanlah biasanya orang hanya mengeluarkan US$2 ribu [Rp29 juta] per bulan, sekarang mereka mengeluarkan US$2400 [Rp35 juta] atau US$2500 [Rp37 juta], naik US$400 [Rp5,9 juta] atau US$500 [Rp7,4 juta] untuk pengeluarannya itu," ceritanya.
Zafran sendiri juga mengakui alokasi untuk biaya hidup naik hingga US$400 [Rp5,9 juta] per bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya betul, naiknya bisa sampai angka itu. Terutama saya [pengeluaran] yang paling tinggi itu di bensin. Karena saya suka pergi ke luar kota. Jadi bensin yang paling terasa. Kalau di bahan makanan karena saya jarang makan ke restoran, lebih sering makan sendiri, itu saya masih bisa mengatur keuangan. Hanya yang paling parah itu di bensin sih. Dan itu bisa naik tidak sampai US$500 [Rp7,4 juta], mungkin sekitar US$450 [Rp6,7 juta] dibanding biasanya," tuturnya.
Menurut Zafran, inflasi yang kini terjadi di AS lebih memberatkan rakyat kecil.
"Mereka itu, misalkan alokasi yang dikeluarkan rakyat kecil sekitar 20 persen untuk bahan pokok. Kalau ada inflasi naik jadi sekitar 30 persen katakanlah. Itu artinya uang yang mereka punya semakin sedikit," ujarnya.
Sementara itu, rakyat menengah ke atas memiliki alokasi dana untuk membeli barang tersier atau untuk jalan-jalan.
"Orang yang menengah ke atas itu, kalau misalkan harga bahan pokok naik, mereka tinggal tidak jalan-jalan dan tidak membeli barang. Jadi kalau di sini tuh orang-orang pada kesal karena yang kaya tetap kaya, yang miskin semakin miskin, dan itu sangat terasa di sini," ujarnya.
(blq/pwn/bac)