Pada Juli dan November 2017, Korut sempat melangsungkan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM). Pyongyang mengklaim pada uji coba November 2017, ICBM Hwasong-15 dapat mencapai ketinggian 4.475 kilometer. Rudal itu juga menempuh jarak sekitar 1.000 kilometer sebelum mendarat di lautan dekat pantai Jepang.
Sementara itu, beberapa analis memprediksi Hwasong-15 memiliki jarak tempuh hingga 13 ribu kilometer, pun jika ditembakan dari lintasan yang lebih darat, dapat mencapai daratan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, dalam parade militer Oktober 2020, Korut memamerkan ICBM baru yang lebih besar dari Hwasong-15. Rudal itu belum diberi nama ataupun dites, tetapi diprediksi mampu membawa beberapa senjata nuklir ataupun umpan untuk membingungkan sistem pertahanan rudal.
Korut juga memamerkan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam, yakni Pukkuksong-4.
Pada Januari 2021, Korut juga memamerkan Pukkuksong-5. Beberapa ahli memprediksi rudal itu memiliki jarak tempuh hingga 3.000 kilometer.
Pada September 2021, Korut sempat menguji coba rudal dari peluncur kereta api, membuat senjata itu lebih sulit dideteksi AS dan sekutunya.
Pada Maret 2022, Korut melangsungkan uji coba ICBM. Ini merupakan pertama kalinya Pyongyang menguji ICBM sejak 2017.
Korut mengklaim ICBM tersebut merupakan Hwasong-17, ICBM terbesar milik Pyongyang yang diprediksi memiliki jarak tempuh hingga 15 ribu kilometer.
Namun, militer Korsel menilai rudal yang diuji Korut kala itu memiliki ukuran yang lebih kecil.
Selain menguji coba ICBM, Korut sempat menguji coba rudal balistik jarak dekat yang menggunakan bahan bakar padat. Bahan bakar padat itu membuat rudal lebih cepat diluncurkan.
Korut juga menguji coba rudal jelajah jarak jauh, yang dapat mengecoh sistem pertahanan rudal jika diluncurkan bersamaan dengan rudal balistik.
Mulai dari awal 2022 sampai saat ini, Korut telah meluncurkan lebih dari 30 rudal untuk diuji coba.
Salah satu pengamat dari CFR, Scott A. Snyder, menilai banyaknya uji coba tersebut mengindikasikan Korut tak berekspektasi untuk kembali berhubungan dengan AS secara diplomatik.
Meski begitu, sejumlah pengamat menilai kemungkinan ada masalah keakuratan dalam rudal Korut. Hal ini disebabkan Korut terlalu mengandalkan panduan dari Uni Soviet.
Namun, beberapa pemberontak dan pakar mengatakan Korut mulai menggunakan sistem GPS yang mirip dengan sistem navigasi China. Ini meningkatkan kekhawatiran apakah rudal Korut mungkin bisa lebih akurat ketimbang sebelumnya.
(pwn/bac)