Satu unit militer Rusia yang ditempatkan di selatan Ukraina dilaporkan menolak untuk berperang karena kekurangan pasokan vital seperti air.
Melalui sebuah unggahan di Facebook, Komando Operasi Ukraina Selatan melaporkan Resimen ke-127 Rusia dari Korps Angkatan Darat 1 telah melakukan kerusuhan dan menolak berpartisipasi lebih lanjut perintah Presiden Vladimir Putin untuk melawan Ukraina.
Menurut Komando Ukraina, tentara Rusia kekurangan dukungan hingga pasokan vital. Personel Rusia di garis depan perang pun dikabarkan kekurangan pasokan air minum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Militer Rusia pun dilaporkan memecat para personel dari resimen tersebut sebagai hukuman.
Newsweek tidak dapat memverifikasi klaim Komando Ukraina itu secara independen dan telah menghubungi Kementerian Luar Negeri Rusia untuk meminta konfirmasi namun belum direspons.
Institute for Study of War (ISW), sebuah think tank AS, mencatat bahwa pasukan Rusia membentuk Resimen ke-127 dari personel yang dimobilisasi secara paksa di Donetsk dan Luhansk Oblast pada awal April bersama empat resimen DNR lainnya: ke-103, ke-109, ke-113, dan ke-125.
ISW sebelumnya melaporkan bahwa DNR mengerahkan kembali resimen ke-109, 113, dan 125 ke barat laut Kherson pada akhir Juli dan resimen ke-109 dilaporkan menyerah pada hari pertama serangan balasan Ukraina berlangsung.
ISW pun memprediksi pasukan Rusia kemungkinan memperkuat posisi garis depan perang dengan pasukan yang kurang berpengalaman dan sebagian personel yang tidak memiliki keinginan untuk berperang bahkan dimobilisasi secara paksa untuk bertarung.
Ini bukan pertama kalinya tentara Rusia dituduh menolak berperang di Ukraina.
Pada Juli lalu, Andrei Rinchino, kepala hukum Yayasan Free Buryatia, mengatakan kepada media independen Rusia MediaZona bahwa 17 tentara Rusia ditahan di wilayah Luhansk timur Ukraina karena menolak untuk berperang.
Rinchino mengatakan orang-orang itu menandatangani kontrak jangka pendek dengan kementerian pertahanan Rusia dan dikurung setelah mereka menolak untuk terus berpartisipasi dalam perang dan berusaha untuk mengakhiri kontrak mereka.
Kerabat tentara mengatakan kepada outlet berita bahwa orang-orang itu juga menerima ancaman pembunuhan karena menolak untuk berperang.
Beberapa juga dilaporkan diancam akan dikerahkan ke "skuadron penyerang tempur" karena meminta untuk kembali ke rumah. Skuadron seperti itu biasanya dibuat untuk memimpin serangan dan diperkirakan akan menanggung banyak korban dalam operasi.
(rds)