Setelah menang perang sipil, Mao Zedong mendeklarasikan negara Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober 1949.
Namun, setelah beberapa tahun PKC menghadapi pertentangan soal pembangunan negara.
Hubungan PKC dan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) semakin erat terutama dalam hal kebijakan luar negeri serta ideologi. Kedekatan itu tak berlangsung lama, hubungan mereka mulai berjarak pada 1950.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu dekade kemudian, PKC berusaha mempercepat perkembangan industri China dengan program-program yang berani. Namun, program ini dianggap berbahaya.
Program PKC yang dianggap paling berbahaya adalah Great Leap Forward atau Melompat Jauh ke Depan, yang berlangsung pada 1958-1960.
Tujuan program ini untuk membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah.
Program ini mengadopsi pola Uni Soviet, dan menjadikan negara ini sebagai sekutu dekat. Namun, kondisi dan penerapannya tak tepat, sehingga terjadi kekacauan.
Lalu pada 1966, Mao merilis Revolusi Kebudayaan. Namun, di tengah program ini internal PKC pecah, antara orang-orang yang mendukung Mao, dan yang mendukung Liu Shaoqi serta Deng Xiaoping.
Program ini muncul sebagai cara menghidupkan kembali revolusi komunis dengan memperkuat ideologi dan menyingkirkan lawan.
Salah satu penulis buku soal China, Frank Dikötter, mengatakan Mao berharap gerakan itu mampu menjadikan China berada di puncak semesta sosialis.
"[Dan mengubah dirinya menjadi] orang yang memimpin planet Bumi ke dalam komunisme," demikian dikutip The Guardian.
Faktanya, Revolusi Kebudayaan melumpuhkan ekonomi, menghancurkan jutaan nyawa dan mendorong China ke dalam kekacauan, pertumpahan darah, kelaparan, dan stagnasi.
Setelah kematian Mao pada 1976, PKC terus menjadi partai berkuasa di China sampai hari ini. PKC pun terus bergerak semakin terbuka menuju liberalisasi ekonomi dan hingga kini bisa menjadikan China sebagai salah satu raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia.
(isa/rds)