Salah satu warga negara Indonesia (WNI) di Shanghai, China, mengungkap situasi pembatasan ketat selama pandemi Covid-19 di kota tersebut.
WNI bernama Alisa itu bercerita situasi saat ini sudah tidak seketat beberapa bulan lalu.
Saat ini, pihak berwenang hanya akan menutup perbatasan area tertentu jika ditemukan kasus Covid, tak lockdown secara keseluruhan seperti sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enggak lockdown kok. Cuma kalau ada yang positif di apartemen kita, ya di-lockdown 48 jam. Boleh delivery order dan lain-lain," ujar Alisa kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, Shanghai juga sudah cukup terbuka ketimbang sebelumnya.
Warga asing yang berkunjung ke kota ini hanya harus karantina mandiri selama lima hari, tak di lokasi khusus seperti sebelumnya. Setelah itu, mereka bisa pergi ke tempat rekreasi yang tertutup atau dalam ruangan.
"Jadi selama lima hari ini, yang baru sampe Shanghai cuma bisa stay di hotel, atau tempat-tempat outdoor. Enggak bisa masuk ke restoran, mal, dan bar," tutur dia.
Shanghai menjadi sorotan usai sejumlah warga menggelar demo menolak lockdown ketat dan menuntut Presiden China Xi Jinping mundur pada akhir pekan lalu.
Menurut dia, penguncian ketat di Kota Shanghai terakhir berlangsung pada April-Mei lalu.
Lockdown saat itu sangat ketat hingga menghambat pengiriman paket belanja berupa makanan. Warga tak bisa bebas bergerak, dan hanya bisa mengandalkan pesan-antar.
Penguncian wilayah di Shanghai ketika itu membuat penduduk tak bisa banyak bergerak, sehingga mau tak mau pemerintah harus memenuhi kebutuhan logistik masyarakat.
Di tengah pembatasan itu, WNI menerima bantuan logistik berupa makanan dan obat tradisional China yang menurutnya cukup unik.
"Agak rancu juga waktu saya dikasih [obat tradisional itu]. Ada yang bilang kalau positif Covid-19 baru minum. Ada yang bilang itu 'jamunya Indonesia' buat kesehatan," kata WNI itu pada April lalu.
Pemerintah Shanghai memang memberi bantuan, tetapi bagi WNI tersebut, bantuan itu tak merata dan kurang tepat sasaran.
Lebih lanjut, ia menerangkan pemerintah hanya mengirim sedikit sayuran, sepotong daging. Menurutnya, banyak kebutuhan pokok lain yang belum terpenuhi.
Dua distrik di Shanghai juga sempat ribut gegara tak kebagian paket bantuan.
"Itulah kenapa banyak yang protes juga karena kita seperti dibiarkan kekurangan di dalam rumah. Kebutuhan pokok dari pemerintah enggak komplit dan enggak cukup kuantitasnya. Mau DO enggak bisa karena minim driver, atau [minim] toko yang buka."
Selama pandemi virus corona, China menerapkan strategi nol Covid-19, salah satunya dengan menggelar tes massal. Alisa menilai tes massal di Shanghai saat itu cukup ketat.
Menurut penuturan dia, tes antigen dan PCR hampir setiap hari dilakukan tanpa biaya. Warga secara rutin diminta berkumpul untuk dites.
Jika ada kasus Covid-19 barang cuma satu atau dua orang, petugas kesehatan akan mengunjungi penghuni satu per satu untuk melakukan tes. Langkah ini ditempuh untuk meminimalisir interaksi, mobilitas, dan penularan.