AS Peringatkan China Tak Represif ke Pedemo Tolak Lockdown
Senator Amerika Serikat memperingatkan China agar tak menggunakan kekuatan apapun dan menindak tegas para pedemo yang menolak lockdown imbas Covid-19.
Peringatan itu tertuang dalam sebuah surat yang dikirim ke Duta Besar China di Washington, Qin Gang, pada Kamis (1/12). Para senat menyinggung penindasan keras Partai Komunis China (PKC) saat demo di Lapangan Tiananmen pada 1989.
"Kami memperingatkan PKC untuk tak sekali pun melakukan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai di China yang hanya ingin menginginkan kebebasan lebih banyak," demikian bunyi surat itu, seperti dikutip AFP.
Lebih lanjut surat itu menyuarakan, "Jika terjadi [kekerasan], kami yakin akan ada konsekuensi serius bagi AS-China yang memicu kerusakan luar biasa."
Surat tersebut dipimpin Senator dari Partai Republik Dan Sullivan, dan Senator dari Partai Demokrat Jeff Merkley. Anggota senat dari kedua partai turut menandatangani surat tersebut.
Peringatan soal tindakan China terhadap pengunjuk rasa juga muncul dari Presiden AS Joe Biden. Namun, ia menyampaikan dengan sangat hati-hati. Biden menekankan hak untuk menyatakan keluhan secara damai.
Selain Biden, Menteri Luar Negeri Antony Blinken juga buka suara dan menyebut represi terhadap setiap demonstrasi sebagai tanda kelemahan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price juga ikut berkomentar dan mengatakan warga China harus punya hak universal yang sama dengan yang dimiliki orang seluruh dunia.
"Orang-orang di China memiliki hak, tentu saja, untuk saja untuk memprotes secara damai tanpa rasa takut," kata Price pada Jumat.
China menjadi sorotan usai demo menolak lockdown terjadi di berbagai kota. Tuntutan aksi kemudian meluas hingga mendesak Presiden Xi Jinping mundur.
Terbaru, warga di Guangzhou, China Selatan menggelar demo pada Selasa (29/11) malam hingga Rabu(30/11). Demo tersebut berujung bentrok antara polisi dengan peserta aksi.
Selain itu, warga Shanghai juga menggelar aksi di jalan Urumqi terkait protes kematian 10 orang imbas kebakaran di di Ibu Kota Provinsi, Xinjiang, pada Kamis pekan lalu. Aksi itu juga berujung ricuh.
Aksi awalnya digelar karena warga menilai banyak korban meninggal akibat petugas telat tiba di lokasi. Keterlambatan itu diduga karena terhambat lockdown yang terlalu ketat.
Sehari usai insiden itu, ratusan warga menggelar aksi protes di depan kantor pemerintahan Urumqi.
Usai serangkaian demo itu, polisi China memperketat keamanan, termasuk memeriksa ponsel warga yang lewat di lokasi unjuk rasa seperti Shanghai dan Beijing.
Puluhan polisi berjaga meski tak ada tanda-tanda orang melakukan protes.
Petugas memeriksa ponsel siapa saja yang lewat di sekitar lokasi untuk memastikan ada atau tidak jaringan pribadi virtual (VPN) dan aplikasi Telegram yang sempat digunakan para pedemo saat protes.
Selain itu, polisi juga disebut menyeret dan menggantung para pedemo.
Salah satu demonstran yang menjadi korban gantung, Chen, mengatakan polisi merangsek masuk ke kerumunan demonstran. Mereka lalu menyeret siapapun tanpa pandang bulu untuk digantung terbalik sebelum diangkut paksa ke dalam bus.