Melalui penggunaan tembikar dan penanggalan karbon dari sisa-sia kehidupan yang ditemukan sebelumnya, gereja itu diperkirakan berdiri antara tahun 534 dan 656 masehi. Periode itu adalah masa hidup Nabi Muhammad yang lahir sekitar tahun 570 dan meninggal pada 632 masehi.
Para arkeolog meyakini situs itu telah ditinggalkan selama abad ke-8 akibat konflik internal Islam, alih-alih karena perselisihan dua agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akhirnya tembok runtuh dan pasir yang tertiup angin bergerak di atasnya meninggalkan gundukan rendah dengan puing-puing bangunan dan tembikar, kaca, serta koin yang muncul di permukaan," kata profesor arkeologi di Universitas UEA di Al Ain, Tim Power, seperti dikutip Arab News.
Dia mengatakan tak ada bukti perusakan yang disengaja terhadap bangunan itu. Bahkan gelas kaca untuk Ekaristi masih berada di tempat asalnya. Mangkuk untuk mencampur anggur Ekaristi juga berada di tempatnya.
"Rasanya mereka seperti baru saja dibangun dan menghilang," ujarnya.
Power meyakini situs itu ditinggalkan bukan karena konflik akibat perbedaan agama, tetapi karena "invasi Abbasiyah pada 750 M yang sesuai dengan penanggalan keramik dan penanggalan radiokarbon."
Power berujar kekhalifahan Abbasiyah pada 750 masehi itu dikenal sangat kejam, yakni melakukan berbagai invasi dan menghancurkan kota-kota pesisir Emirat.
"Jadi saya pikir orang-orang ini lari ketakutan karena kemungkinan invasi otoritas kekaisaran di Irak yang mencoba mempertahankan kendali atas (klaim) provinsi mereka yang tengah bergolak. Itu adalah konflik antara dua kelompok Muslim yang berbeda," ucap dia.
Keberadaan biara ini pun menurut Power menjadi tanda bahwa "terdapat tingkat toleransi antarkomunal, antaragama di tingkat lokal," pada zaman itu.
(blq/bac)