Frick, jurnalis asal Swedia itu, juga menegaskan dirinya tak lagi bekerja untuk media Rusia. Ia juga menegaskan tak mendukung pemerintahan Vladimir Putin sejak Rusia mencaplok Crimea pada 2014 lalu.
Afiliasi Frick dengan Rusia bukan kali ini saja menjadi sorotan. Pada 2019, dia bercanda soal hubungan dirinya dengan Putin.
Usai melakukan perjalanan ke Rusia, Frick mengeluarkan segepok uang rubel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bos saya yang sesungguhnya! Dia adalah Putin," kata dia kepada reporter.
Dugaan Rusia sebagai dalang pembakaran Al Quran juga mencuat dari Menteri Luar Negeri Finlandia, Pekka Haavisto.
Haavisto menerangkan pihak berwenang telah menyelidiki hubungan Paludan dan Rusia. Hubungan tertentu di sekitar dia juga telah diinvestigasi.
Lebih lanjut, ia mengatakan peristiwa pembakaran kitab suci itu memicu pertanyaan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga.
"Pertanyaan apakah beberapa pihak ketiga berusaha mengacaukan, misalnya Rusia, atau pihak lain yang menentang keanggotaan NATO dan mencari provokasi untuk mencapai itu. Ini tak bisa dimaafkan," ucap Haavisto, seperti dikutip Al Arabiya.
Pemerintah Swedia belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait aksi Paludan dan relasi dengan Rusia.
Namun, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson sempat menyinggung ada pihak yang tak ingin Swedia bergabung dengan NATO.
"Ada kekuatan baik di dalam maupun di luar Swedia yang ingin menghalangi keanggotaan Swedia di NATO," kata Kristersson.
Insiden pembakaran Al Quran belakangan pun turut mempersulit langkah Swedia bergabung dengan NATO.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, Erdogan mengeluarkan kecaman. Ia juga meminta Stockholm jangan berharap Ankara memberi izin mereka masuk NATO.
Di sisi lain, Rusia selama ini memang tak ingin ada negara lain yang menjadi anggota NATO. Kremlin kerap khawatir, aliansi ini terus melakukan ekspansi dan membahayakan Rusia.
Putin bahkan melancarkan invasi ke Ukraina, salah satu alasannya agar negara ini tak bergabung dengan NATO.
Lebih dari satu dekade sebelumnya, Rusia juga melancarkan serangan ke Ossetia Selatan, Georgia.
Serbuan tersebut diduga sebagai respons Kremlin gegara Georgia ingin masuk NATO.
Rusia dan Georgia akhirnya bersedia gencatan senjata usai bertempur selama lima hari.
Setelah itu, Rusia mengakui Ossetia Selatan dan wilayah separatis lain, Abkhazia, sebagai negara merdeka. Kremlin juga membangun pangkalan militer di wilayah itu.
Di tahun itu, Georgia pun tak jadi bergabung dengan NATO. Namun, kedua ini memiliki hubungan yang dekat.
(isa/rds)