Jakarta, CNN Indonesia --
Tentara bayaran Rusia, Wagner Group, disebut-sebut berada di balik perang saudara yang kini meletus di Sudan.
Wagner Group dikaitkan dengan pasukan paramiliter Sudan, Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo atau yang dikenal sebagai Hemedti.
Perang di Sudan dipicu perebutan kekuasaan antara dua faksi militer utama yakni pasukan RSF yang dikomandoi Hemedti dengan militer Sudan pimpinan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari ABC News, jauh sebelum kudeta 2021 saat Presiden Sudan Omar al-Bashir masih memimpin, Rusia merupakan kekuatan dominan di Sudan.
Awal tahun ini, Moskow bahkan mencapai kesepakatan awal dengan para pemimpin militer Sudan untuk membangun pangkalan angkatan laut di pantai Laut Merah negara itu.
Di sana, Rusia bakal menampung hingga empat kapal, termasuk kapal bertenaga nuklir, serta pasukan hingga 300 prajurit.
"Rusia telah berusaha memajukan hubungan dengan kedua kamp militer selama tiga tahun terakhir," kata direktur penelitian untuk Pusat Studi Strategis Afrika, Joseph Siegle, seperti dikutip NBC News.
[Gambas:Video CNN]
"Mereka sebagian besar berhubungan baik [dengan Jenderal Abdel Fattah Burhan], tapi juga menjalin hubungan baik dengan Hemedti," katanya.
Keterlibatan Wagner di Sudan
Dilansir dari Al Jazeera, Rusia melalui Wagner Group sudah lama 'bermain' di Sudan yaitu sejak masa pemerintahan Presiden Omar Al Bashir.
Pada 2017, Al Bashir pergi ke Rusia untuk bertemu Presiden Vladimir Putin dan menawarkan Sudan sebagai "pintu gerbang ke Afrika", sebagai imbalan atas dukungan Kremlin. Al Bashir sendiri pergi ke Rusia karena khawatir dilengserkan.
Tak lama setelah itu, perusahaan tambang baru milik Rusia M Invest, Meroe Gold, mulai membawa beberapa ahli dari Rusia ke Sudan selaku produsen emas terbesar ketiga di Afrika.
Pada 2020, Kementerian Keuangan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada M Invest dan Meroe Gold, karena diduga sebagai kedok atas aktivitas Wagner Group di Sudan.
"[Wagner Group] terutama ditujukan untuk menjaga sumber daya mineral, khususnya sumber daya penambangan emas, dan bertindak sebagai kekuatan pendukung bagi pemerintah Bashir dalam hal melindunginya dari oposisi internasional," kata Samuel Ramadi, penulis buku Russia in Africa, kepada Al Jazeera.
Selama protes pada 2019 yang berujung kudeta Al Bashir, Wagner berubah dari "pasukan perwalian menjadi pemain langsung yang coba menekan demonstrasi."
Ramadi berujar setelah Al Bashir dilengserkan, bos Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, mencoba menjalin hubungan dengan panglima militer Al Burhan. Namun hubungan itu memburuk setelah Pembantaian Khartoum 2019.
Wagner Group akhirnya kembali ke posisi "perwalian" mereka untuk melindungi kepentingan pertambangan.
Hubungan Wagner dan RSF
Belakangan ini, Wagner menjalin hubungan dengan Rapid Support Forces (RSF) dan komandannya, Hemedti.
Ramadi mengatakan hubungan itu bertujuan untuk "menciptakan rute penyelundupan emas dari Sudan ke Dubai dan kemudian ke Rusia sehingga mereka dapat mendanai operasi Wagner Group di Ukraina."
Pada awal 2022, sehari setelah Rusia meluncurkan invasi ke Ukraina, Hemedti terbang ke Moskow. Kedatangannya itu mengantarkan fase baru kedekatan antara RSF dan Wagner.
Sementara itu dalam konflik terbaru di Sudan, tidak diketahui apakah Wagner ikut terlibat secara langsung dalam bentrokan.
Kepala Departemen Riset Perdamaian dan Konflik di Universitas Uppsala di Swedia, Ashok Swain, meyakini Wagner Group terlibat dalam konflik saat ini.
Keterlibatan Wagner adalah "untuk mempertahankan kehadirannya di negara itu dan melindungi kepentingan bisnisnya yang besar."
"AS baru-baru ini menekan Dewan Kedaulatan yang berkuasa di Sudan untuk mengeluarkan kelompok tentara bayaran ini dari negara itu. Dengan demikian, Wagner Group punya minat yang besar pada siapa yang memenangkan pertarungan kekuasaan yang sedang berlangsung di negara ini," ujarnya.