Pada 2017, Nthenge meluncurkan kanal YouTube. Dalam salah satu video, ia memperingatkan pengikutnya agar tak melakukan praktik demonic atau berkaitan dengan iblis seperti menggunakan wig dan menggunakan mobile money atau pembayaran non-tunai.
Satu tahun kemudian, Nthenge ditangkap dengan tuduhan radikalisme. Ia mendesak anak-anak untuk tak datang ke sekolah karena pendidikan tak diakui kitab Injil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu pada 2019, ia membubarkan gerejanya dan pindah ke Kota Shakahola.
"[Saya] mendapat wahyu sudah saatnya berhenti. Saya hanya berdoa sendiri dan mereka memilih percaya," kata Nthenge saat wawancara dengan media lokal.
Lalu pada Maret lalu, polisi Kenya kembali menangkap Nthenge usai dua anak meninggal gegara kelaparan. Namun, ia bebas setelah membayar 100 ribu Shilling Kenya atau sekitar Rp10 juta.
Beberapa pekan kemudian, polisi melakukan penyelidikan di hutan kota Malindi terkait kuburan massal di lokasi tersebut.
Nthenge lalu menyerahkan diri ke pihak berwenang. Ia akan menghadapi persidangan pada 2 Mei mendatang. Sebelum menjadi pastor sekte itu, ia merupakan supir taksi.
Presiden William Ruto juga berjanji bakal membongkar jaringan sekte tersebut.
Ruto juga mengatakan sekte ini bisa dikategorikan sebagai aksi kejahatan serius sehingga Nthenge bisa dituntut menggunakan pasal terorisme.
Temuan ini dianggap menjadi titik balik karena termasuk salah satu yang paling menggemparkan. Tim penyelamat melakukan penggalian di lokasi dan menemukan mayat membusuk terkubur secara massal.
Selain itu, ditemukan pula sejumlah kuburan tunggal dengan salib di atasnya.
Organisasi Islam yang fokus isu hak asasi manusia, The Mombasa, meminta pemerintah agar mempertimbangkan opsi menggunakan helikopter untuk menyelamatkan korban dan membuat proses lebih cepat.
(bac)