Dua pendeta pemimpin sekte sesat di Kenya akan diadili pada hari ini, Selasa (2/5), usai 109 pengikut mereka ditemukan tewas di hutan, diduga mati kelaparan akibat indoktrinasi.
AFP melaporkan kedua pemimpin sekte itu terdiri dari Paul Mackenzie Nthenge dan Ezekiel Odero. Nthenge akan diseret ke meja hijau di Malindi, sementara Odero bakal menghadapi dakwaan di Mombasa.
Nthenge akan diadili usai pengikutnya diduga mati kelaparan di hutan Shakahola. Pendiri Good News International Church itu mendoktrin pengikutnya bahwa kelaparan merupakan satu-satunya jalan untuk bertemu Yesus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh ini, kepolisian Kenya sudah menemukan 109 jasad, kebanyakan anak-anak, dari penggalian 30 kuburan massal di hutan Shakahola. Korban diduga lebih banyak dari yang sudah ditemukan.
Nthenge akan diadili terkait sejumlah dakwaan, termasuk pembunuhan, penculikan, hingga kekejaman terhadap anak-anak.
Sementara itu, Odero juga akan menjalani persidangan di Kota Mombasa. Ia ditahan pada pekan lalu karena sejumlah informasi menyebut korban yang ditemukan di belantara Shakahola juga merupakan pengikut gereja Odero, New Life Prayer Central and Church
Berdasarkan dokumen pengadilan, Odero dan Nthenge memiliki rekam jejak "sejarah investasi bisnis" bersama, termasuk televisi yang digunakan untuk menyebarkan "pesan-pesan radikalisasi" kepada para pengikutnya.
Tragedi yang disebut-sebut sebagai "pembantaian Shakahola" ini dianggap menjadi pembuka tabir kekelaman di Kenya akibat sekte sesat yang kian menjamur belakangan ini.
Berdasarkan data pemerintah, lebih dari 4.000 gereja berdiri di Kenya dengan jemaat sekitar 50 juta jiwa. Dari ribuan gereja itu, beberapa di antaranya dianggap sesat.
Layaknya gereja sesat di sejumlah negara lainnya, beberapa aliran di Kenya juga memeras para jemaatnya untuk berdonasi dengan jumlah selangit.
Sebagian lainnya memang tak menguras kantong para pengikut, tapi membawa dampak lebih mematikan, seperti gereja yang dipimpin Nthenge.
Merujuk pada pengamatan profesor agama di Universitas Nairobi, Stephen Akaranga, kebanyakan sekte itu tumbuh subur di daerah pinggiran, "di mana orang hanya punya informasi sedikit mengenai sekolah."
Selain itu, Kenya menjadi ladang subur sekte sesat karena berbagai masalah bercampur menjadi satu di tengah masyarakat.
Aparat Kenya sebenarnya tahu betul bahaya sekte-sekte sesat ini. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak karena gereja-gereja itu acap kali dapat memanfaatkan celah dalam sistem hukum di Kenya, yaitu kebebasan beragama.
Namun, tragedi temuan jasad korban di Shakahola ini dianggap sudah keterlaluan. Presiden Kenya, William Ruto, pun menyerukan pemberantasan gerakan-gerakan keagamaan yang "tak dapat diterima."
Ruto menganggap para pemimpin sekte itu sebagai teroris. Menteri Dalam Negeri Kenya, Kithure Kindiki, pun melontarkan pernyataan serupa.
"Yang terjadi di Shakahola merupakan titik balik bagaimana Kenya menangani ancaman keamanan serius dari ekstremis keagamaan," ucap Kindiki.
(has)