Jakarta, CNN Indonesia --
Analis politik dan penulis asal Amerika Serikat, Janusz Bugajski, memprediksi Rusia saat ini sedang dalam kondisi tidak stabil sehingga tak lama lagi bakal mengalami keruntuhan.
Bugajski menerangkan fondasi Rusia sejatinya jauh lebih rapuh dibandingkan propaganda Moskow yang mencoba meyakinkan warganya dan orang luar mengenai kekuatan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut 3 tanda-tanda keruntuhan Rusia menurut analisis Bugajski:
1. Konflik internal rezim
Bugajski menuturkan fondasi negara Rusia sama seperti militernya jauh lebih rapuh daripada propaganda Moskow selama ini kepada dunia luar.
Menurutnya, kemerosotan ekonomi, tekanan pengetatan anggaran terutama sejak melancarkan invasi ke Ukraina, hingga rezim personalistik tanpa garis suksesi menjadikan Rusia rentan mengalami keruntuhan.
Jika dilihat, sampai saat ini Putin masih menjadi orang paling berkuasa di Rusia sejak 17 tahun terakhir. Dan hingga sekarang, belum ada tanda-tanda kapan Putin lengser dan siapa yang bisa menjadi suksesinya kelak.
"Kita juga sudah melihat tanda-tanda seperti konflik di antar-institusi pemerintah (Rusia), kematian misterius lebih dari selusin oligarki, dan seringnya pembersihan kepemimpinan di militer Rusia," ucap Bugajski.
Lebih dari 10 kematian misterius pejabat sampai oligarki Rusia di lingkaran Putin dalam setahun terakhir, terutama sejak Moskow melancarkan invasi ke Ukraina.
[Gambas:Video CNN]
Meski Putin mengaku mendapat dukungan dari berbagai pihak di Rusia soal invasi, tak sedikit pula pejabat Rusia, eks pejabat, hingga pengusaha konglomerat Negeri Beruang Merah menyatakan kegerahan dan penentangannya terhadap agresi Moskow ke Ukraina.
Sejak itu, penangkapan terhadap kritikus pemerintah semakin sering. Putin bahkan mengesahkan hukum yang bisa memenjarakan siapa saja yang dianggap menyebarkan berita bohong terkait pergerakan pasukan Rusia di Ukraina seperti soal kemunduran hingga kekalahan mereka di medan perang.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
2. Kemunduran di Ukraina
Meski rezim Presiden Vladimir Putin tak pernah mengakui kondisi sebenarnya, laporan soal kemunduran dan kerugian yang dihadapi pasukan Rusia di Ukraina kian santer terdengar.
Beberapa bulan setelah melancarkan invasi, berbagai laporan soal jumlah tentara Rusia yang gugur di medan perang hingga menolak berperang banyak beredar.
Rusia juga sempat mengerahkan mobilisasi pasukan cadanganya dan mewajibkan wajib militer terhadap warganya ketika pasukan Kyiv berhasil melancarkan serangan balasan di medan perang. Saat itu, banyak laporan memaparkan Rusia telah kehilangan belasan ribu pasukannya.
Meski begitu Rusia tak pernah mengonfirmasi jumlah pasukannya yang gugur di medan perang.
Namun, kondisi yang tak menguntungan bagi Rusia itu sempat diakui Putin sendiri. Pada akhir Desember 2022, Putin curhat situasi sulit yang dihadapi pasukannya di Ukraina meski tak menjabarkan detail soal tantangan tersebut.
Bukan cuma itu, tentara bayaran swasta yakni Wagner Group bahkan baru-baru ini mengancam akan menarik pasukan dari Bakhmut, Ukraina, karena tak kunjung diberikan amunisi tambahan oleh Rusia. Padahal kondisi pasukan di medan perang sudah sangat mengenaskan.
Bos Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, bahkan menyalahkan Kementerian Pertahanan Rusia yang menyebabkan "puluhan ribu" tentara tewas dan kerugian besar Negeri Beruang Merah di Ukraina.
Dengan kondisi ini, Bugajski menilai cengkeraman Putin bakal melemah secara signifikan seiring dengan kerugian teritorial di Ukraina yang tak bisa disembunyikan.
Tak cuma itu, penurunan drastis layanan pemerintah seperti yang diproyeksikan selama setahun mendatang juga menurutnya bakal melemahkan kekuatan Putin.
"Perpecahan bakal dipercepat setelah Putin berakhir atau digulingkan, karena perebutan kekuasaan internal meningkat dan beberapa pemimpin regional bakal melihat peluang untuk membentuk negara-negara baru yang mirip dengan apa yang terjadi selama runtuhnya Uni Soviet," kata Bugajski seperti dikutip Kyiv Post.
Dia menduga wilayah-wilayah regional bakal mendeklarasikan kedaulatan dan kemerdekaannya setelah Rusia benar-benar runtuh.
Wilayah-wilayah tersebut khususnyaadalah daerah yang membenci eksploitasi Moskow atas sumber daya dan anggaran mereka serta wilayah yang berbagi perbatasan darat atau laut dengan negara-negara tetangga dan memiliki populasi yang sama.
"Moskow akan mencoba mempertahankan daerah penghasil energi dan bahan baku yang lebih kaya di negara yang ada, namun beberapa aktor politik bakal melihat ini sebagai basis yang berharga untuk mendirikna negara-negara merdeka," ucapnya.
Lebih lanjut, Bugajski juga menyebut kekuatan militer Rusia yang saat ini masih sangat besar tak akan mampu meredam upaya pemberontakan dan kemerdekaan wilayah-wilayah tersebut.
Sebab para prajurit dan aparat yang sudah merasakan pahitnya bertugas di Ukraina "akan menyimpan banyak keluhan terhadap rezim."