Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-42 yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pekan ini menjadi sorotan banyak pihak.
Pemerhati politik internasional bertanya-tanya apakah KTT ASEAN tahun ini, yang tengah diketuai oleh Indonesia, mampu menghasilkan langkah konkret dan lebih tegas lagi dalam menyelesaikan masalah di kawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa masalah 'mendesak' yang dihadapi ASEAN saat ini di antaranya konflik Myanmar akibat kudeta militer, perundingan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan (LCS) dengan China yang tak kunjung rampung, hingga kemunculan kekuatan eksternal seperti AUKUS dan Quad baru-baru ini di kawasan.
AUKUS merupakan kerja sama militer antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Beberapa pihak termasuk Indonesia sempat khawatir jika kemunculan AUKUS bisa memicu perlombaan senjata di kawasan Indo-Pasifik.
Sementara itu, Quad merupakan forum dialog terkait ekonomi dan keamanan antara Australia, India, Jepang, dan AS.
Kedua aliansi ini sama-sama berusaha melawan pengaruh China di Indo-Pasifik dengan membidik Asia Tenggara.
Lantas, bagaimana peran ASEAN di tengah situasi kawasan dan perubahan geolopotik saat ini? Apakah tujuan ASEAN masih relevan?
Pengamat dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Waffaa Kharisma, mengakui relevansi ASEAN saat ini memang menjadi suatu pertanyaan besar.
Menurut Waffaa, hal itu karena ekspektasi bagi ASEAN seiring waktu semakin tinggi.
"Di tahun 2000-an dan 2010-an awal, ASEAN itu cukup berada di periode progresif, muncul dengan jawaban-jawaban atas macam-macam krisis, mulai dari krisis kesehatan SARS, krisis finansial global, bencana di kawasan seperti Nargis, hingga tensi antar negara Asia Tenggara dan negara-negara besar. Biasanya ASEAN selalu datang dengan jawaban," kata Waffaa kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/5).
"Namun dalam pandangan yang lebih kritis, ASEAN saat ini dinilai kurang dapat menjawab tantangan krisis yang sifatnya sensitif."
Waffaa menuturkan semakin sini, anggota negara ASEAN semakin terlihat "berjalan sendiri-sendiri" terutama dalam menanggapi beberapa masalah yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini, kata Waffaa, bisa memicu perpecahan dan perbedaan pandangan di antara negara ASEAN sehingga sulit mencapai satu suara dan konsensus.
"Masalah yang menerpa ASEAN saat ini adalah krisis yang membuka divisi di antara negara-negara ASEAN dan diatasi dengan beda-beda pendekatan. Hal ini yang menurutnya mempersulit konsensus serta respons kolektif," ujar Waffaa.
Waffaa menggambarkan perpecahan di ASEAN itu bisa dilihat dari cara negara-negara merespons konflik di Myanmar. Menurutnya, negara ASEAN tidak satu suara dalam mencari solusi dan menangani kekerasan dan krisis politik yang terjadi di Myanmar akibat kudeta militer.
Hal itu bisa dilihat dari sikap negara-negara ASEAN selama ini yang terpecah dalam merespons situasi di Myanmar dan sikap keras kepala junta militer negara itu.
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, kerap menyerukan pendekatan yang lebih vokal dan tegas terhadap Myanmar. Di sisi lain, Thailand dan Kamboja kerap menyatakan keengganan mengambil langkah yang bisa mengisolasi junta militer Myanmar. Kedua negara ini memang memiliki hubungan dekat dengan junta Myanmar.
Waffaa menuturkan meski ASEAN sudah menyepakati Five Point Consensus pada 2021 lalu soal Myanmar, masih ada negara anggota yang memandang kesepakatan tersebut sekadar panduan alih-alih perjanjian mengikat (binding agreement).
Tak cuma itu, persoalan AUKUS serta persaingan antara China dan Amerika Serikat juga kemungkinan menuai respons beragam dari masing-masing negara.
"Persaingan AS dan Tiongkok ada yang berharap ASEAN bisa aktif, ada [juga] yang berpikir ini di luar kapasitas ASEAN untuk kontribusi. Sulit mencari solusi yang semua pihak terpuaskan," ucapnya.
"Kenapa bisa sampai seperti ini? Banyak ahli mengamati salah satu penyebabnya ya vakum kepemimpinan."
Selama 10 tahun terakhir, Waffaa melihat bahwa kurang ada perhatian di antara negara-negara ASEAN terhadap kemajuan dan terobosan di level aliansi. Masing-masing menurutnya bergerak sendiri sehingga ASEAN "mulai kembali kurang dianggap di percaturan atas arsitektur kawasan."
ASEAN hanya ajang arisan, benarkah? Baca di halaman berikutnya >>>