Calon presiden petahana Turki Recep Tayyip Erdogan membantah dirinya sebagai pemimpin diktator.
Menurut Erdogan, jika memang betul otoriter maka dia akan memenangkan pemilihan umum (Pemilu) Turki di putaran pertama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada operasi psikologis berbahaya yang dilakukan media internasional tentang kami. Pada 14 Mei, kami menjawab tudingan ini dengan harapan yang kami wujudkan melalui pemilu," kata Erdogan pada Rabu (24/5), seperti dikutip Anadolu Agency.
Ia kemudian berujar, "Dengan ini (pemilu) kami telah menunjukkan retorika kediktatoran ini hanya lah omong kosong."
Untuk bisa memenangkan pemilu, calon harus memperoleh suara lebih dari 50 persen. Di putaran pertama, tak ada calon yang meraih suara sebanyak itu.
Erdogan memperoleh suara 49,51 persen, sementara lawan kuatnya Kemal Kilicdaroglu 44,88 persen, dan capres lain Sinan Ogan sekitar 5 persen.
Kondisi semacam itu membuat pemilu Turki berlanjut ke putaran kedua pada 28 Mei.
Di kesempatan kali ini, Erdogan kian menegaskan dirinya bukan diktator.
"Pikir dengan cara ini. Akan kah diktator melangsungkan putaran kedua? Diktator menyelesaikan pekerjaannya di putaran pertama. Dan, dia bisa selesai dengan 90 persen [perolehan suara]," ujar dia lagi.
Lebih lanjut, Erdogan mengatakan ada banyak contoh negara di dunia yang dengan mudah menang di pemilu dengan perolehan suara fantastis.
"Kami ingin memenangkan hati rakyat kami, bukan kediktatoran," imbuh dia.
Erdogan juga menceritakan bangsa Turki membuat iri negara Eropa lain karena jutaan warga memberikan suaranya untuk capres di putaran pertama.
Lebih dari 64 juta warga Turki terlibat di pemilu putaran pertama. Dari jumlah ini, menurut Erdogan, hampir 90 persen warga Turki memberikan suara.
"Pada 14 Mei, kami tak hanya melihat kekuatan demokrasi Turki, tetapi juga menyaksikan persepsi itu menguap," turut Erdogan.
Erdogan memandang jumlah pemilih di pemilu mencirikan sebagian demokrasi yang sukses di negara itu.
"Terlepas dari semua provokasi, semua bangsa kami hampir berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara,"ujar dia.
Erdogan juga berkata Turki telah menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini tak bisa digiring media.
Ia berulang kali mengkritik outlet media internasional yang belakangan ini mencoba mempengaruhi opini publik jelang pemilu.
Selama ini, Erdogan disebut-sebut pemimpin yang otoriter dan jauh dari demokrasi.
Selama menjadi orang nomor satu di Turki, ia kerap membungkam oposisi bahkan memenjarakan siapa saja yang menentang pemerintahannya.
Erdogan juga mengatur lalu lintas konten di media sosial, Twitter. Ini kian membuat dia dipandang sebagai pemimpin anti-kritik.
Banyak warga Turki kerap menyampaikan keresahan mereka terhadap sistem atau pemerintahan di media sosial.
(isa/rds)