Hanya setahun setelah AKP terbentuk, partai itu menang mayoritas suara dalam pemilihan umum pada November 2022. Namun, saat itu, Erdogan terjegal kasus pidana penjara sehingga tidak bisa mencalonkan diri sebagai perdana menteri.
Saat itu, Turki masih menerapkan sistem demokrasi parlementer di mana perdana menteri berperan sebagai pemimpin eksekutif sekaligus yang paling berkuasa dalam mengambil keputusan.
Pada 2003, Erdogan terpilih sebagai anggota parlemen melalui pemilihan khusus. Keterpilihannya itu berlangsung usai larangan berpolitik bagi Erdogan resmi dicabut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erdogan langsung menggantikan koleganya dari AKP sebagai perdana menteri Turki lima hari kemudian.
Pada 2007, Erdogan kembali memenangkan pemilihan umum dengan meraih 46,6 persen suara.
Sekitar September 2010, Erdogan juga memenangkan sebuah refendum untuk perubahan konstitusi yang mengizinkan pemerintah menunjuk hakim-hakim pengadilan tinggi, melemahkan kekuatan militer, dan memastikan presiden dipilih melalui pemilu, bukan parlemen.
Pada Juni 2011, Erdogan dan partainya kembali menang pemilu dengan 49.8 persen suara terlepas dari kritik oposisi yang menilai pemerintahan Erdogan semakin menjauh dari sekular.
Sekitar Agustus 2014, Erdogan benar-benar menunjukkan taringnya dengan tetap keluar sebagai pemenang dalam pemilu langsung pertama dalam sejarah.
Dalam periode kali ini, Erdogan benar-benar mendapat ujian besar. Pertama, partai AKP kalah mayoritas suara dalam pemilu parlementer pada Juni 2015.
Meski kembali menjadi mayoritas partai di parlemen usai memenangkan pemilu sela, pemerintahan Erdogan di tahun itu menghadapi banyak rintangan seperti serangkaian serangan bom bunuh diri.
Pada Juli 2016, Erdogan juga dihadapkan oleh upaya kudeta militer meski gagal. Erdogan menyalahkan mantan sekutu yang kini menjadi musuh bebuyutannya, Fethullah Gulen sebagai dalang dibalik upaya kudeta.
Sejak itu, Erdogan memerintahkan penangkapan dan razia besar-besaran terhadap anggota serta pengikut Gullen.
Pada April 2017, Erdogan berhasil meloloskan referendum perubahan sistem politik Turki dari demokrasi parlementer menjadi presidensial.
Para pengkritik dan oposisi menilai referendum itu merupakan upaya Erdogan untuk menerapkan aturan one man rule atau pemerintahan yang hanya dikuasai secara absolut oleh satu orang atau otoriter.
Walau Erdogan semakin mengumpulkan banyak musuh, ia tetap menjadi pemimpin favorit Turki. Pada Juni 2018, Erdogan tetap memenangkan pilpres dengan 52,59 persen suara.
Ini menjadikan Erdogan sebagai presiden pertama Turki dengan kekuasaan eksekutif.
Erdogan pun kembali memperpanjang kekuasaan hingga 2028 dengan memenangkan pemilu putaran kedua pada Minggu.
(rds/bac)