Sementara itu, sejarawan Indonesia, Andi Achdian, menilai berdampak atau tidak pengakuan Rutte bergantung sikap dan tindak lanjut pemerintah Indonesia.
"Pengakuan itu berdampak atau tidak tergantung pada tinjauan politik pemerintah Indonesia terhadap pengakuan tersebut," ujar Andi.
Selain itu, Andi menyarankan pemerintah Indonesia perlu meninjau dari aspek hukum internasional, salah satunya KMB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perjanjian tersebut sesungguhnya sangat merugikan posisi Indonesia," ujar Andi.
Ia lalu membeberkan beberapa contoh. Pertama soal kewajiban Indonesia membayar beban utang kolonial sebesar 4,3 miliar gulden. Andi menilai beban utang itu bisa dikembalikan setelah pengakuan tersebut.
Persoalan utang sempat menjadi perdebatan sengit saat KMB berlangsung. Indonesia keberatan lantaran harus membayar utang Belanda setelah menyerah ke Jepang pada 1942.
Delegasi Indonesia juga jengkel karena menganggap Belanda bisa saja menggunakan biaya itu untuk aksi militer di RI.
Namun, Indonesia akhirnya bersedia membayar sebagian utang Belanda demi memperoleh kedaulatan berkat intervensi anggota Amerika Serikat dalam komisi PBB untuk Indonesia.
"Saya kira akan menarik apabila beban utang itu dikembalikan setelah pengakuan ini. Karena, perang kolonial setelah 1945 bisa dianggap sebagai agresi terhadap negara merdeka," ucap Andi.
Andi juga menyoroti soal klaim kedaulatan wilayah Indonesia bekas kekuasaan pemerintah Hindia Belanda setelah proklamasi, dalam perjanjian KMB.
Permasalahan Papua-Barat juga menjadi topik panas saat KMB digelar.
Ketika itu, delegasi Indonesia berpendapat wilayah negara ini mencakup Papua Barat. Namun, Belanda menolak dengan alasan perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai Papua Barat. Kemudian di poin tambahan perjanjian KMB diterangkan wilayah tersebut bukan bagian dari serah terima Belanda ke RI. Masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun setelah perjanjian KMB.
"Jadi, langkah-langkah itu yang penting menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia dalam membahas pengakuan dengan pemerintah Belanda," ujar dia.
"Persoalannya bukan bagaimana seharusnya sikap Belanda, tetapi lebih bagaimana pandangan politik pemerintah Indonesia dalam hal ini."