Curhat Warga Korut Kena Penyakit Misterius Tinggal di Dekat Tes Nuklir
Sejumlah warga Korea Utara yang melarikan diri dari negara itu menceritakan pengalaman mereka tinggal di dekat situs uji coba nuklir.
Mereka mengaku pernah mengidap penyakit-penyakit misterius selama menetap di sana.
Perempuan dengan nama samaran Lee Mi-young menuturkan dirinya kehilangan anak semata wayangnya karena sang buah hati mengalami kondisi pernapasan misterius.
Paru-paru anaknya seperti meleleh. Namun, dia hanya didiagnosis TBC seperti anak-anak lainnya yang tinggal di daerah itu.
"Kami menusuk sisi paru-parunya untuk mengalirkan cairan tiga kali sehari. Nanah keluar dan pada akhirnya dia meninggal," kata Lee, seperti dikutip Radio Free Asia, Kamis (6/7).
"Dia punya delapan teman, tapi satu atau dua dari itu mulai sakit dan didiagnosis TBC. Semuanya meninggal dalam waktu empat tahun. Anak saya didiagnosis dengan cara yang sama," sambung dia.
Para dokter di negara itu, kata dia, tidak bisa menentukan bagaimana anak-anak tersebut tertular tuberkulosis. Bahkan, dokter di departemen itu sendiri tidak tahu kenapa bisa banyak anak mengidap penyakit TBC.
Lee sendiri meyakini bahwa putranya menderita radiasi akibat nuklir di wilayah tersebut.
"Mereka tidak tahu bahwa itu akibat uji coba nuklir," kata Lee.
Barulah ketika tiba di Korea Selatan pada 2016, Lee mengetahui bahwa uji coba nuklir yang pernah dia rayakan itu hampir pasti menjadi penyebab anaknya meninggal dunia.
"Ketika uji coba nuklir ketiga dilakukan [pada 2013], orang-orang bersorak gembira setelah menonton siaran. Saya bangga bahwa Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir untuk 'melumpuhkan Amerika'," ucapnya.
Ia kemudian melanjutkan, "Saya tidak tahu bahwa itu akan berdampak negatif pada orang-orang."
Lee sendiri tinggal 27 kilometer dari situs Punggye-ri, lokasi Pyongyang melakukan enam uji coba nuklir bawah tanah pada 2006-2007.
Saat tinggal di sana, dia mengaku hampir tidak bisa khawatir soal dampak nuklir karena sibuk mencari nafkah dan bertahan hidup.
Setelah diingat-ingat, kata dia, sebetulnya ada begitu banyak pasien penyakit parah yang tinggal di daerah Kilju, daerah kediamannya.
"Kabupaten Kilju punya jumlah pasien kanker lambung, pankreas, hati, tuberkulosis, dan paru-paru tertinggi secara nasional. Ketika pasien didiagnosis mereka meninggal dalam waktu tiga bulan," ucapnya.
Saat anaknya sakit, Lee sempat membawa putranya ke ibu kota Pyongyang dengan harapan bisa mendapat dokter yang lebih baik untuk merawat sang buah hati.
Pergi ke Pyongyang sendiri adalah tindakan ilegal bagi warga biasa. Akses untuk layanan kesehatan, yang disediakan bagi elite Korut, juga hampir tidak mungkin didapat.
"[Kami] mencoba pergi dari rumah sakit (tempat dia dirawat) menuju rumah sakit di Pyongyang. Tapi pihak rumah sakit memberitahu kami bahwa semua pasien TBC dan hepatitis di Kilju tak bisa memasuki Pyongyang," ujar dia.
"Saya tidak bisa mendapat izin atau sertifikat, oleh sebab itu putra saya meninggal tanpa pernah mendapat kesempatan dirawat di rumah sakit di Pyongyang."
Kini, dia merasa kasihan pada warga Kilju lainnya yang masih tinggal di sana. Sebab mereka tidak tahu betapa bahayanya pengembangan nuklir terhadap kualitas hidup.
Lanjut baca di halaman berikutnya...