FLAPK lalu menempuh jalur hukum. Mereka meminta bantuan Penasehat Hukum untuk melakukan somasi. Setelah itu, pihak Kemlu memberikan tanggapan tertulis yang intinya menyatakan masalah gaji pokok di dalam negeri yang ditahan/tidak dibayarkan selama kami ditugaskan di luar negeri, dianggap "telah kadaluarsa" dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 50 tahun 2018, pasal 76A.
Forum itu beranggapan Kemlu keliru menafsirkan pasal 76A PP No 50 tahun 2018. Sebab, pasal tersebut menyoal tagihan dari "pihak ketiga" kepada negara terkait pengadaan barang dan jasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga mempertanyakan kebijakan tak membayar hak gaji dalam negeri berdasarkan SE Sekjen Kemlu Nomor : 015690 tertanggal 16 Oktober 1950, Perihal: Keuangan Perwakilan Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
"Dalam pertimbangannya mengatakan menunggu keputusan yang definitif dan menyimpang dari peraturan S.P./5/K.L, maka berhubung dengan sangat terbatasnya persediaan deviezen (devis), Jo III.c 'gaji di Indonesia tidak diberikan'," lanjut mereka.
Lalu muncul UU No.18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kepegawaian, UU No.8 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Kepegawaian, UU No.43 Tahun 1999 Tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN.
Namun, FLAPK mengklaim hak gaji pokok mereka tetap tak dibayarkan Kemlu.
FLAPK juga menyatakan sempat mengirim surat ke Presiden RI, tapi tak ada balasan. Selain itu, mereka mengadukan masalah ini ke Menko Polhukam. Pihak Menko Polhukam sempat berdialog dengan forum ini, tetapi hingga sekarang tak ada proses lanjutan.
(isa/bac)