Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengklaim kisruh perombakan sistem peradilan yang memicu kerusuhan besar-besaran tak akan menimbulkan perang saudara di Israel.
"Tidak akan ada perang saudara. Saya jamin itu," kata Netanyahu dalam sebuah wawancara pada Senin (31/7), seperti dikutip NBC News.
Netanyahu juga menegaskan perombakan sistem peradilan yang diajukan pemerintahannya perlu dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika semuanya jelas, orang-orang akan menyadari bahwa ini perlu," katanya.
Netanyahu bicara demikian setelah enam bulan diprotes warga karena mengusulkan rencana besar-besaran pemerintah untuk merombak sistem peradilan Israel melalui sejumlah rancangan undang-undang.
Perombakan itu dinilai melemahkan peran Mahkamah Agung dan sebaliknya memperkokoh hegemoni pemerintah.
Netanyahu beralasan program itu digalakkan untuk menyetarakan peran yudikatif dengan eksekutif dan legislatif. Menurutnya, selama ini hakim MA terlalu berkuasa.
Suara warga Israel sendiri terbelah karena hal ini. Presiden Isaac Herzog sampai mewanti-wanti akan bahaya perang sipil pada Maret lalu.
Jajak pendapat yang dilakukan Channel 13 pekan lalu juga menunjukkan 56 persen penduduk mengaku khawatir krisis politik saat ini bisa meningkat menjadi perang saudara.
Netanyahu menyadari bahwa terjadi perpecahan akibat usulan reformasi tersebut. Namun, dia percaya undang-undang yang diubah ini akan "bermanfaat."
"Saya rasa ketakutan orang-orang yang sudah dipanas-panasi ini bakal mereda, dan mereka akan melihat bahwa Israel adalah negara demokratis seperti sebelumnya dan bahkan lebih demokratis lagi," ujar dia.
Oposisi Israel dan para sekutunya memang khawatir program reformasi sistem peradilan ini akan menjadi langkah awal Tel Aviv menjauh dari nilai demokrasi.
Dalam reformasi ini, setidaknya tiga RUU menjadi sorotan utama. Pertama, beleid yang menghapus "uji kewajaran". Kedua, menghapus klausul penggantian. Ketiga, mengubah cara hakim ditunjuk.
RUU pertama sudah disahkan pada 24 Juli lalu. Aturan itu menghilangkan hak hakim MA untuk menolak keputusan menteri kabinet jika dinilai "tidak masuk akal."
Dua RUU lainnya diperkirakan bakal dibahas di parlemen. Pertama, aturan yang memungkinkan parlemen mengesampingkan keputusan apa pun oleh pengadilan lewat mayoritas sederhana.
Kedua, aturan yang memberi kendali kepada partai-partai berkuasa menunjuk hakim di MA.
Hakim di MA sendiri saat ini ditunjuk oleh panel berisi campuran orang yang dipilih secara politik, anggota parlemen, dan anggota profesi hukum.