Menteri Israel Ngebet Caplok Tepi Barat, Abaikan Garis Hijau
Menteri Warisan Israel Amichai Eliyahu mendesak pemerintah segera mencaplok Tepi Barat, sambil menyebut Garis Hijau yang memisahkan Tel Aviv dengan wilayah Palestina yang diduduki itu 'fiktif'.
"Saya tidak benar-benar berpikir ada Garis Hijau. Itu garis fiktif. Ini adalah tanah air kami. Di sinilah orang-orang Yahudi muncul. Sikap negara Israel bahwa ada dua negara di sini adalah sebuah kesalahan. Kita harus memaksakan kedaulatan atas Yudea dan Samaria (istilah alkitabiah untuk Tepi Barat)," kata Eliyahu kepada Army Radio.
Dengan pertimbangan itu, Eliyahu menilai Israel harus segera mengambil langkah secepat mungkin. Hal itu agar Israel bisa mendapat pengakuan internasional bahwa wilayah tersebut adalah milik Tel Aviv.
"Kita harus memajukan ini secepat mungkin, secerdas mungkin. Kita harus mengatakan ini di mana-mana untuk menciptakan pengakuan internasional bahwa tempat ini adalah milik kita," ujarnya.
"Di Yudea dan Samaria, semua orang mengerti bahwa akar dan sejarah kita ada di sana, dan oleh karena itu, saya rasa seluruh Garis Hijau hanyalah kelainan. Ada realitas yang terdistorsi yang perlu kita hapus," imbuh dia.
Garis Hijau adalah perbatasan de facto antara Israel dengan negara-negara tetangganya yang disepakati di bawah Perjanjian Gencatan Senjata 1949, yang mengakhiri Perang Kemerdekaan Israel.
Namun, dalam perang Enam Hari pada 1967, Israel mengabaikan garis batas negaranya itu dengan merebut Dataran Tinggi Golan, Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Tel Aviv kemudian mencaplok Dataran Tinggi Golan dan Yerusalem Timur dalam upayanya yang tak pernah diakui masyarakat internasional. Seiring waktu, Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza.
Dilansir The Times of Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 2019 mempromosikan rencana untuk memperluas kedaulatan Israel ke semua pemukiman di Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Sebagai bagian dari kesepakatan normalisasi 2020 dengan Uni Emirat Arab, Netanyahu setuju untuk menunda rencananya hingga 2024. Meski begitu, dia bersikeras bahwa langkah tersebut masih ada "di atas meja".
Dalam beberapa waktu terakhir, Israel dikabarkan mulai berniat rujuk dengan Arab Saudi namun tersendat syarat Riyadh yakni Palestina harus merdeka dan bebas dari penjajahan.
Di tengah rencana ini, sejumlah laporan media menyebut Israel kemungkinan dipaksa untuk kompromi dengan imbalan kesepakatan.
Pada Rabu (2/8), aktivis pemukim bernama Gerakan Kedaulatan pun mendesak Netanyahu tidak menggunakan konsesi wilayah potensial kepada Palestina sebagai alat tawar-menawar untuk perjanjian normalisasi dengan Arab Saudi.
"Kedaulatan Israel atas Tanah Israel bukanlah kartu politik tetapi jiwa, viis, dan harapan orang-orang Yahudi melalui generasi pengasingan dan generasi penebusan," demikian keterangan pemimpin kelompok itu, Yehudit Katzover dan Nadia Matar.
"Ini adalah visi untuk menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat di tanah kita sendiri, yang mendorong ribuan orang dari seluruh dunia ke Tanah Israel."
Sejak dulu, Israel memang sudah menggencarkan niat untuk menganeksasi wilayah Tepi Barat. Pada Juni lalu, negara itu bahkan menyetujui rencana pembangunan ribuan rumah baru di kawasan pencaplokan tersebut.
Padahal, masyarakat global dan Palestina menganggap pembangunan pemukiman itu ilegal dan menghambat upaya perdamaian.
Hingga kini, lebih dari 700 ribu orang Israel tinggal di Tepi Barat dan di Yerusalem Timur.
(blq/bac)