Selain itu, faktor eksternal yang mempengaruhi kudeta kerap terjadi di Afrika karena faktor campur tangan asing, demikian menurut Sya'roni. Banyak negara di Benua Hitam ini merupakan bekas jajahan Inggris dan Prancis.
Kedua negara Eropa itu disebut cukup mempengaruhi negara di Afrika.
Menurut profesor dari ilmu politik di Universitas Kyambogo Uganda, Sultan Kakuba, mengatakan beberapa negara Barat mendukung pemimpin yang melayani mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi, begitu seorang pemimpin berhenti memenuhi tuntutan mereka [negara asing], mereka akan merencanakan pemecatan," kata Kakuba pada 2022 lalu, seperti dikutip Anadolu Agency.
Peneliti senior di Media Review Network, Mustafha Mheta, mengklaim bahwa Prancis mungkin punya andil dalam beberapa kudeta di bekas koloninya.
"Prancis terlalu terlibat dalam urusan banyak negara Afrika Barat ini, dan masih ingin memanipulasi negara-negara ini dan terus memeras mereka," kata Mheta menduga.
Sejumlah negara bekas jajahan Prancis di antaraya Maroko, Aljazair, Mauritania, Mali, Senegal, Guinea, Pantai Gading, Burkina Faso, Benin, Niger, Chad, Republik Afrika Tengah, Gabon, Kongo dan Madagaskar.
Burkina Faso mengalami kudeta pada September 2022 lalu yang dipimpin Ibrahim Traore. Ia dan perwira militer lain mencopot Paul Henri Damiba karena dianggap tak becus atasi pemberontakan bersenjata yang memburuk.
Damiba duduk di pucuk pimpinan usai mengambil alih secara paksa dari presiden sebelumnya Roch Kabore pada Januari 2022.
Menurut Mheta, kudeta-kudeta di Afrika merupakan bagian dari rencana besar kekuatan Barat yang takut dengan pengaruh China.
Ia menyinggung beberapa kudeta berlangsung di tengah periode ketegangan yang meningkat di dunia, terutama antara China dan AS.
Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik dan ketergantungan dengan pihak asing yang sangat tinggi, lanjut dia, turut berkontribusi terhadap kudeta yang kerap terjadi.
Negara-negara di Afrika memang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Namun, menurut pengamat UI, Yon, potensi konflik yang tinggi dan intervensi asing di Afrika membuat mereka tak mampu membangun sumber daya manusia.
"Akses politik dan ekonomi sebagian besar dikuasai oleh rezim dan oligarki sehingga banyak menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan mendorong terjadinya coup d'etat,"ujar Yon.
(isa/bac)