Niger terus menjadi sorotan setelah militer negara itu melakukan kudeta dan menahan Presiden Mohamed Bazoum pada 26 Juli lalu.
Di tengah gonjang-ganjing ini, mencuat isu bahwa Afrika, lewat kudeta Niger sebagai 'kick-off', menjadi medan perang proksi baru antara negara-negara Barat dan Rusia.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL Junta Niger Buka Negosiasi hingga AS Kirim Amunisi Rp3 T ke Ukraina |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kudeta Niger sendiri mendapat dukungan penuh dari beberapa negara Afrika pimpinan junta militer seperti Mali, Burkina Faso, dan Guinea. Ketiga negara ini dekat dengan Rusia dan merupakan bekas jajahan Prancis alias anti-Barat.
Masyarakat Niger yang pro-kudeta juga sempat dilaporkan mengibarkan bendera Rusia sambil menggemakan nama Presiden Vladimir Putin kala perebutan kekuasaan berlangsung.
Awal Agustus ini, delegasi militer Niger bahkan bertemu dengan Presiden transisi Mali, Assimi Goita, yang disebut-sebut sebagai kunjungan karena Niger tertarik dengan pasukan tentara bayaran Rusia, Wagner Group, usai kelompok itu menawarkan bantuan keamanan.
Mendengar hal ini, Plt Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Victoria Nuland menemui perwakilan militer Niger dan mewanti-wanti agar tidak menerima tawaran Wagner. Nuland menilai kerja sama dengan Wagner hanya akan mengancam keamanan negara itu.
Niger dan AS adalah sekutu karena AS menganggap Niger sebagai salah satu negara demokratis di wilayah Afrika Barat dan rekan dalam memerangi kelompok jihadis terkait Al Qaeda dan ISIS. AS kemudian memutuskan menghentikan sementara sejumlah program bantuan terhadap Niger karena kudeta di negara itu.
Terkait hal ini, apakah Afrika kini menjadi medan perang proksi baru antara negara-negara Barat dan Rusia?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan Afrika saat ini tengah dilanda efek domino imbas kudeta Niger akhir Juli lalu.
Sya'roni berujar kudeta di sebuah negara seperti di Niger selalu menyisakan kekosongan dan instabilitas politik di sekitarnya. Hal ini terlihat pada blok negara-negara Afrika Barat, ECOWAS, yang mulai menyiagakan pasukan demi menjaga agar konflik tak melebar sekaligus menekan junta militer Niger.
Di tengah ketidakstabilan ini, pihak-pihak asing yang berkepentingan pun tak terkecuali memanfaatkan momentum untuk menggali keuntungan.
"Rivalitas antara AS dan Rusia dalam sepuluh tahun terakhir tidak bisa dihindari. Terutama pasca-Arab Spring, sehingga dua kekuatan ini menggunakan proksi-nya untuk mempertahankan pengaruh di kawasan," kata Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/8).
Menurut Sya'roni, AS menginginkan pengaruh di kawasan Afrika agar "dunia berada di bawah rezim liberal internasional, [yang] dekat dengan Amerika."
Sementara Rusia, menurutnya, tak mau kalah dengan mengeluarkan 'jurus' kebijakan-kebijakan menggiurkan, salah satunya dalam BRICS.
BRICS adalah kelompok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan untuk mempromosikan kerja sama ekonomi dan mendorong negara-negara anggota menjadi negara maju.
"Keberadaan kelompok BRICS bagian dari strategi Rusia mengimbangi AS di Afrika," ucap Sya'roni.
Sementara itu, Ketua Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai saat ini Afrika sedang diperebutkan karena dominasi Barat mulai mengendur bersamaan dengan militer sejumlah negara Afrika yang hendak menyingkirkan pengaruh Prancis.
Ini bisa dilihat dari militer Niger, Mali, Burkina Faso, dan Guinea yang meminta tentara Prancis di negara masing-masing hengkang.
"Tampaknya ada perubahan-perubahan regulasi di Afrika ketika kekuatan Barat sendiri mulai agak melemah dominasinya, dan itu berpotensi digantikan oleh munculnya kekuatan Rusia, walaupun tidak langsung melalui Rusia [melainkan lewat Wagner]. Tapi disinyalir Wagner Group itu berhubungan dengan Rusia," kata Yon kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/8).
Yon menjelaskan kehadiran Wagner di Afrika bisa diasosiasikan dengan kehadiran kekuatan Rusia di kawasan itu lantaran pasukan swasta bayaran itu punya hubungan yang erat dengan Kremlin, termasuk perannya di perang Rusia-Ukraina.
Lanjut baca di halaman berikutnya...