ANALISIS

Kudeta Niger, Apakah Afrika Medan Perang Proksi Baru Barat vs Rusia?

CNN Indonesia
Selasa, 15 Agu 2023 07:43 WIB
Kudeta Niger membuat kawasan di Afrika Barat 'panas', apakah jadi pertanda perang proksi antara Barat dan Rusia?
Pasukan bayaran dari Rusia, Wagner Group, saat mendarat di Mali beberapa tahun silam. (AP)

Kendati begitu, Wagner "tidak melulu" mewakili Rusia sebab kelompok itu hanyalah tentara bayaran yang bakal memihak tergantung pada siapa yang memberinya upah.

"Kalau Niger kerja sama dengan Wagner, itu juga akan berpengaruh dengan keberadaan tentara Amerika di Niger. Ini perlu untuk dilihat lebih dalam karena juga tidak serta-merta kemudian berafiliasi dengan Wagner harus bermusuhan dengan Amerika," ujar Yon.

"Kan tergantung deal-nya apa. Bukan oleh penguasa junta militer saja," ucapnya melanjutkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yon juga bicara soal sikap resmi Rusia, yang saat ini bertolak belakang dengan Wagner. Rusia sebelumnya menyatakan bahwa situasi di Niger menjadi keprihatinan serius. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pun menyerukan semua pihak di negara itu menahan diri serta kembali secepatnya ke tatanan hukum.

Menurut Yon, sikap berbanding terbalik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Wagner, menurutnya, ingin maju sendirian dan ogah dianggap sebagai bagian dari militer Kremlin. Berbeda dengan Rusia yang ingin lebih dulu merespons secara diplomatis.

"Ketika seandainya Niger mendapatkan bantuan dalam hal pertahanan kekuasaan dari Wagner, bisa saja Rusia juga berbeda sikap [beralih mendukung kudeta] ketika nanti berhadapan dengan Amerika," katanya.

"Kan selalu kepentingan Amerika berbanding terbalik dengan kepentingan Rusia. Jadi bisa saja nanti Rusia bertemu dengan Wagner Group dalam hal menyikapi kudeta yang ada di Niger, walau di awal Rusia menolak kudeta."

Keruk sumber daya alam

Jika menelisik lebih jauh, perebutan pengaruh antara AS dan Rusia di Afrika pada dasarnya lantaran Afrika memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah.

Sya'roni menjabarkan Libya, misalnya, terkenal sebagai negara penghasil minyak. Begitu pula dengan Afrika Selatan sebagai penghasil emas dan Zaire sebagai penghasil uranium.

"Lebih dari itu, dengan menguasai Afrika, maka akan bisa menjadi mitra untuk menyebarkan nilai masing-masing negara," ucap Sya'roni.

Senada dengan Sya'roni, Yon juga menilai bahwa perebutan pengaruh antara AS dan Rusia di Afrika terjadi karena kawasan ini kaya akan sumber daya alam.

Menurut Yon, tidak mungkin AS mau jauh-jauh membantu Niger memerangi terorisme jika bukan karena ada kepentingan nasional yang melandasinya.

"Kalau memang tidak ada kepentingan ekonomi kan mengapa mereka harus jauh-jauh menempatkan militer dan sebagainya untuk membantu maupun memengaruhi kawasan itu. Pasti berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang ada di Afrika," tuturnya.

Kondisi ini juga yang menurut Yon membuat jengah rakyat Niger, yang secara umum merupakan warga negara miskin dengan sumber daya alamnya dikuasai pihak asing.

Dia menilai ketidakpuasan itu salah satunya mendorong kelompok militer akhirnya mengambil alih kekuasaan.

"Namun biasanya hasil dari kudeta itu tidak menghasilkan stabilitas karena bisa saja militer yang dihasilkan dari kudeta itu mengulang hal yang sama, seperti yang dilakukan rezim sebelumnya, dalam hal penguasaan politik dan ekonomi," ujarnya.

"Sehingga dalam waktu yang sangat panjang Afrika tidak mengalami stabilitas dan ekonomi cenderung memburuk dalam beberapa dekade terakhir," imbuh dia.

Yon lantas berpandangan bahwa di tengah masalah ini, Afrika seolah melihat oase dari Rusia. Rusia dengan program kekuatan lunaknya seperti BRICS tak memaksa ikut campur dalam urusan internal, berbeda dengan AS dan Prancis.

AS dan Prancis cenderung menonjolkan hegemoninya melalui latihan militer. Sementara itu, BRICS datang "memberikan tawaran yang sifatnya dialogis, tidak ikut campur terhadap urusan suatu negara dengan negara yang lain."

"Ini tentu akan menjadi semacam alternatif bagi rezim-rezim baru untuk kemudian bisa masuk kerja sama dengan BRICS yang dirasa mungkin lebih cocok ke depannya dibanding dengan bersama dengan kekuatan super power yang cenderung mendorong intervensi, memengaruhi kondisi internal politik dalam negeri," kata dia.

"Mungkin di sini adanya kudeta juga ada harapan juga, saya kira, untuk mengimbangi posisi [lebih] mendekat dengan kelompok Rusia dan kawan-kawan," tutup dia.

(isa/bac)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER