Srettha Thavisin menjadi sorotan usai terpilih menjadi perdana menteri Thailand melalui pemungutan suara di parlemen, Selasa (22/8), setelah drama panjang pencarian pemimpin baru Negeri Gajah Putih.
Thavisin berhasil meraup 375 suara gabungan dari anggota parlemen rendah dan senator, pencapaian yang tak bisa diraih calon PM sebelumnya dari partai peraih suara terbanyak di pemilu, Pita Limjaroenrat.
Srettha pun terpilih menjadi PM Thailand dengan dukungan dari parlemen, termasuk dari kubu militer yang sebelumnya tak bisa diraih Pita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum terjun ke dunia politik, Srettha merupakan pengusaha properti Thailand yang memulai karier sebagai asisten manajer di Procter & Gamble.
Ia lalu bergabung ke bisnis properti milik keluarganya, Sansiri. Perusahaan itu didirikan pada 1984 dan bergerak di bidang real estate.
Saat ini, perusahaan tersebut memiliki nilai sekitar $880 juta di pasar saham Thailand, demikian laporan Al Jazeera.
Srettha sempat menjabat sebagai presiden dan kepala eksekutif Sansiri. Namun, pada November 2022, ia bergabung dengan Partai Pheu Thai.
April lalu, menjelang pemilihan umum, Srettha kemudian mengundurkan diri dari posisi presiden dan kepala eksekutif Sansiri.
Srettha memutuskan terjun ke kancah politik karena merasa putus asa dengan situasi di Thailand.
"Saya merasa sedih dengan apa yang saya lihat," kata Srettha kepada Voice of America pada April lalu.
Ia kemudian berujar, "Karena perbedaan sosial, dalam hal pendidikan, dalam hal mendapat perawatan kesehatan, dalam hal dasar seperti menyiapkan makanan, masih belum seperti yang seharusnya untuk negara yang memiliki potensi besar seperti Thailand."
Peduli HAM
Dalam kampanyenya, Srettha berjanji akan menstimulasi ekonomi, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bagus.
Ia juga berjanji akan memprioritaskan masalah berkaitan dengan hak asasi manusia dalam 100 hari pertama di pemerintahannya.
Janji itu mencakup di antaranya mengatasi kenaikan biaya hidup, mengakhiri wajib militer, memastikan kesetaraan pernikahan bagi pasangan sesama jenis, dan merancang konstitusi baru yang mewakili keinginan rakyat.
Srettha juga memperkenalkan kebijakan andalan Partai Pheu Thai yang menawarkan bantuan sebesar 10.000 Baht atau sekitar Rp4,3 juta bagi mereka yang berusia 16 tahun ke atas untuk mengembangkan komunitas.
Selain itu, Srettha menyebut Pheu Thai peduli HAM. Menurutnya, pemerintahan junta membuat sumber daya manusia yang unggul angkat kaki dari Thailand.
Orang-orang pergi demi mengembangkan keahlian mereka di suatu tempat yang mampu memberikan kebebasan ekspresi, kata Srettha.
"Hak untuk memilih, kebebasan dari wajib militer, hak LGBTQ, itu sama pentingnya dengan stimulus ekonomi," ujar dia.
Srettha sempat ogah koalisi dengan militer. Bagaimana selanjutnya? Baca di halaman berikutnya >>>