Di Tripoli, Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah memimpin pemerintahan Libya yang diakui secara internasional. Sementara di Benghazi, perdana menteri saingan, Ossama Hamad, mengepalai wilayah timur.
Pada Desember 2015, badan-badan parlemen yang bertikai itu menandatangani Perjanjian Politik Libya untuk mengatur transisi baru di bawah Pemerintah Kesepakatan Nasional.
Perjanjian ini menegaskan HoR sebagai parlemen Libya, namun memberi anggota kongres peran baru sebagai penasihat kamar kedua yakni Dewan Tinggi Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian itu lantas menjadi dasar diplomasi selama bertahun-tahun. Kendati begitu, wilayah timur dan barat tetap terbelah.
Pada 2016, meski ada kesepakatan politik, HoR ogah mengakui pemerintah baru seiring dengan masuknya mereka di Tripoli. Faksi-faksi bersenjata Barat akhirnya merebut Sirte dan ISIS di saat Haftar memerangi militan di Derna dan Benghazi.
Kelompok pimpinan Haftar ini juga merebut wilayah penghasil energi di Libya tengah.
Pertempuran kemudian memanas pada 2017 ketika kelompok-kelompok bersenjata di barat bertempur untuk menguasai Tripoli, dan di saat yang bersamaan Tentara Nasional Libya di timur bersama faksi-faksi besar lainnya memerangi kelompok militan Islam di seluruh negeri.
Upaya perdamaian baru yang sudah disepakati pun gagal begitu saja.
Pada 2019, setelah menghancurkan kelompok-kelompok Islam di timur, Haftar membawa Tentara Nasional Libya ke selatan dan mengendalikan sebagian besar ladang minyak yang tersisa di sana.
Pada April 2019, Haftar meluncurkan serangan mendadak untuk merebut ibu kota. Serangannya itu didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Rusia.
Sementara itu, kelompok-kelompok bersenjata di Libya barat berkumpul untuk mendukung pemerintah Tripoli dengan bantuan Turki.
Pada 2020, Turki mengirim pasukannya untuk mendukung Tripoli yang menyebabkan kekalahan pada Haftar. Pemimpin Tripoli dan wilayah timur pun menyetujui gencatan senjata.
PBB lalu mengumpulkan politikus Libya dan masyarakat sipil di Tunis untuk membuat upaya perdamaian baru guna mengadakan pemilihan nasional pada 2021.
Kendati demikian, kedua pemerintahan ini gagal bersatu dan tak jadi melaksanakan pemilihan nasional.
Hingga kini, Libya mengalami kelumpuhan karena tak ada perdamaian yang benar-benar terjadi. Faksi-faksi politik terus-terusan bermanuver di belakang layar.
Pada Agustus, faksi-faksi bersenjata yang bersaing di Tripoli bahkan bertempur memperebutkan seorang komandan, demikian dikutip dari Reuters.