Jakarta, CNN Indonesia --
Libya belakangan menjadi sorotan usai ribuan warganya tewas akibat banjir bandang pada Senin (11/9).
Menurut pemerintah Libya yang diakui secara internasional, lebih dari 2.300 orang tewas di kota Derna. Lebih dari 5.000 orang hilang dan sekitar 7.000 orang terluka.
Sementara itu, menurut pemerintah saingan di Libya timur, "ribuan" lainnya tewas imbas banjir di Derna. Mereka juga memprediksi jumlah korban tewas bisa melampaui 10 ribu jiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini merupakan bencana alam paling fatal dalam sejarah Libya. Banjir bandang ini diakibatkan hujan deras dan Badai Daniel yang menerjang pada Minggu (10/9), hingga menjebolkan dua bendungan.
Perang menahun dan kurangnya pemerintahan terpusat sedikit banyak menjadi dalang atas lemahnya infrastruktur di Kota Derna.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Libya menjadi satu-satunya negara yang belum mengembangkan strategi iklim.
Kenapa Libya Terbagi usai Rezim Muammar Khadafi Lengser?
Dikutip dari TIME, sejak pemberontakan Arab Spring yang dibekingi NATO menggulingkan diktator Muammar Khadafi pada 2011, negara Afrika utara ini terbagi menjadi dua pemerintahan.
Sebuah dewan pemberontak menggelar pemilihan untuk Kongres Nasional Umum interim pada 2012 untuk menciptakan pemerintahan transisi. Namun, kekuasaan sebenarnya dipegang oleh berbagai kelompok bersenjata lokal.
Pada 2013, kelompok-kelompok bersenjata ini tumbuh kian kuat, sampai-sampai mengepung gedung-gedung pemerintah serta memaksa kongres tunduk pada tuntutan mereka. Kongres pun terpecah dan kepercayaan publik surut seiring dengan upaya kongres memperpanjang masa jabatan 18 bulan dan menunda pemilihan umum.
Setahun berselang alias pada 2014, mantan jenderal militer Khalifa Haftar membentuk kelompok Tentara Nasional Libya baru yang memerangi faksi-faksi bersenjata Islam.
Di tahun itu, ada pemilihan parlemen baru yang menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative/HoR). Kongres yang tak setuju dengan hasil ini pun membentuk pemerintahan sendiri yang didukung oleh kelompok-kelompok bersenjata di barat.
Dengan didukung oleh Haftar, parlemen baru pesaing HoR bergerak dari Tripoli ke timur untuk mendukung pemerintah sementara sebelumnya. Libya pun terbagi menjadi pemerintahan di timur dan barat.
Lanjut di halaman berikutnya...
Di Tripoli, Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah memimpin pemerintahan Libya yang diakui secara internasional. Sementara di Benghazi, perdana menteri saingan, Ossama Hamad, mengepalai wilayah timur.
Pada Desember 2015, badan-badan parlemen yang bertikai itu menandatangani Perjanjian Politik Libya untuk mengatur transisi baru di bawah Pemerintah Kesepakatan Nasional.
Perjanjian ini menegaskan HoR sebagai parlemen Libya, namun memberi anggota kongres peran baru sebagai penasihat kamar kedua yakni Dewan Tinggi Negara.
Perjanjian itu lantas menjadi dasar diplomasi selama bertahun-tahun. Kendati begitu, wilayah timur dan barat tetap terbelah.
Pada 2016, meski ada kesepakatan politik, HoR ogah mengakui pemerintah baru seiring dengan masuknya mereka di Tripoli. Faksi-faksi bersenjata Barat akhirnya merebut Sirte dan ISIS di saat Haftar memerangi militan di Derna dan Benghazi.
Kelompok pimpinan Haftar ini juga merebut wilayah penghasil energi di Libya tengah.
Pertempuran kemudian memanas pada 2017 ketika kelompok-kelompok bersenjata di barat bertempur untuk menguasai Tripoli, dan di saat yang bersamaan Tentara Nasional Libya di timur bersama faksi-faksi besar lainnya memerangi kelompok militan Islam di seluruh negeri.
Upaya perdamaian baru yang sudah disepakati pun gagal begitu saja.
[Gambas:Photo CNN]
Pada 2019, setelah menghancurkan kelompok-kelompok Islam di timur, Haftar membawa Tentara Nasional Libya ke selatan dan mengendalikan sebagian besar ladang minyak yang tersisa di sana.
Pada April 2019, Haftar meluncurkan serangan mendadak untuk merebut ibu kota. Serangannya itu didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Rusia.
Sementara itu, kelompok-kelompok bersenjata di Libya barat berkumpul untuk mendukung pemerintah Tripoli dengan bantuan Turki.
Pada 2020, Turki mengirim pasukannya untuk mendukung Tripoli yang menyebabkan kekalahan pada Haftar. Pemimpin Tripoli dan wilayah timur pun menyetujui gencatan senjata.
PBB lalu mengumpulkan politikus Libya dan masyarakat sipil di Tunis untuk membuat upaya perdamaian baru guna mengadakan pemilihan nasional pada 2021.
Kendati demikian, kedua pemerintahan ini gagal bersatu dan tak jadi melaksanakan pemilihan nasional.
Hingga kini, Libya mengalami kelumpuhan karena tak ada perdamaian yang benar-benar terjadi. Faksi-faksi politik terus-terusan bermanuver di belakang layar.
Pada Agustus, faksi-faksi bersenjata yang bersaing di Tripoli bahkan bertempur memperebutkan seorang komandan, demikian dikutip dari Reuters.
[Gambas:Video CNN]