Banyak anak-anak di China sudah dipaksa berlomba-lomba di bidang pendidikan pada usia mereka yang terbilang muda. Mereka ditempa untuk belajar tanpa henti, mengikuti berbagai macam les atau kursus, demi mengikuti ujian penuh tekanan yakni ujian masuk perguruan tinggi.
Sebagian besar siswa di China cuma punya satu kesempatan untuk mengikuti ujian tersebut.
"Saya pikir orang-orang di Barat, orang-orang di luar China, tidak mengerti betapa sulitnya menjadi seorang anak [di China]," kata profesor ekonomi di Sekolah Manajemen Kellog Universitas Northwestern, Nancy Qian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para pemuda berurusan dengan banyak kekecewaan dan kelelahan terpendam serta kebencian karena bekerja begitu keras," imbuh dia.
Tak sedikit anak-anak di China tumbuh di saat ekonomi Beijing berjalan dengan kecepatan penuh, serta saat masa depan tampak begitu menjanjikan.
Kendati demikian, sebagai hasil dari kebijakan satu anak China, mereka harus berurusan dengan harapan tinggi orang tua kala mereka sendiri bersaing dalam sistem yang kejam.
Mereka diberitahu bahwa semua pengorbanan selama ini akan terbayar begitu mereka sukses secara finansial. Namun sebaliknya, ketika dewasa, mereka dihadapkan dengan keadaan luar biasa di mana gaji mereka stagnan akibat ekonomi yang lesu serta budaya overwork atau jam kerja berlebih yang cukup intens.
"Ini merusak moral dan etos kerja yang telah diajarkan kepada mereka sepanjang hidup mereka. Mereka benar-benar kelelahan," kata Qian.
Rasa kecewa muda-mudi China juga terjadi akibat pekerjaan mereka yang tak sesuai.
China dipenuhi anak-anak muda berpendidikan tinggi. Namun lowongan pekerjaan yang dibuka justru kebanyakan tak memerlukan gelar sarjana.
Artinya, ilmu yang mereka timba selama ini menjadi sia-sia.
"Mereka bekerja di pekerjaan yang mungkin relatif stabil, mungkin membayar dengan cukup baik, namun itu adalah pekerjaan yang biasanya tidak memerlukan gelar sarjana [seperti peran administratif di kantor distrik dan kurir pesan antar]," ucap profesor sosiologi di Universitas Columbia, Yao Lu.
Ketidakcocokan pekerjaan ini pun, kata Yao, menyebabkan pemuda sering tak puas dengan kehidupan dan pekerjaan mereka.
Veyron Mai, seorang penduduk Kota Foshan, merupakan salah satu anak muda yang merasakan ketidakcocokan ini. Veyron adalah sarjana musik, namun dia justru bekerja sebagai pencuci mobil dan pegawai restoran.
Pernah suatu ketika dia bekerja di musim panas sambil menggunakan bahan pembersih yang "sangat korosif" hingga merusak tangannya.
"Bahkan jika kamu memakai sarung tangan, itu masuk melukai tanganmu dan membuatnya jelek. Setelah saya bekerja di sana selama sebulan, saya merasa malu menunjukkan tangan saya kepada orang lain. Bagaimana saya bisa menyebut diri saya seorang sarjana musik?" ucap dia.
(blq/rds)