Jakarta, CNN Indonesia --
Generasi milenial dan Z di China ramai-ramai menggelar pesta resign setelah mengundurkan diri dari pekerjaan mapan mereka dalam setahun terakhir.
Ratusan unggahan tentang pesta resign itu banyak beredar di media sosial China hingga menjadi tren. Fenomena ini terjadi saat Negeri Tirai Bambu perlahan lepas dari cengkeraman isolasi Covid-19 dan bergulat dengan tantangan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar orang ikut tren ini merupakan anak muda usia produktif sekitar 20 hingga awal 30 tahun. Alasan mereka resign dari pekerjaan pun beragam, mulai dari upah yang minim hingga kelelahan.
Liang (nama samaran) mengatakan kepada CNN bahwa dia merasa lebih bahagia sejak berhenti dari pekerjaannya di perbankan pada Mei lalu.
"Saya jatuh ke dalam pekerjaan mekanis dan berulang. Itu menghabiskan banyak energi saya," katanya.
Dia mengaku selama bekerja di bank, kreativitasnya tak terasah dengan baik karena tak sesuai dengan pekerjaan yang dia geluti.
"Ide-ide inovatif Anda akan ditolak dan akhirnya lenyap," ucap pria 27 tahun itu, yang kini beralih profesi menjadi freelancer.
[Gambas:Video CNN]
Bukan cuma Liang, teman-temannya pun nyaris seluruhnya berhenti dari pekerjaan mereka. Pada hari ia mengundurkan diri, teman-teman senasib Liang mengadakan pesta dan memberi selamat atas keputusannya itu.
Dikutip CNN, mereka menyematkan bunga di dada Liang, di bawah spanduk merah berbunyi: "Kami sudah selesai dengan pekerjaan omong kosong ini!"
Menurut Maimai, situs setara LinkedIn di China, dari 1.554 karyawan di berbagai sektor yang disurvei dari Januari hingga Oktober 2022, sebanyak 28 persen mengundurkan diri dari pekerjaan mereka di tahun itu. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak dari mereka yang berniat berhenti namun belum melakukannya.
Para muda-mudi ini umumnya tak mau lagi bekerja kantoran karena merasa kecewa. Mereka merasa menjalani hidup untuk bersaing satu sama lain baik secara akademis maupun kinerja cuma untuk menerima sedikit kepuasan.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Bersaing di sekolah
Banyak anak-anak di China sudah dipaksa berlomba-lomba di bidang pendidikan pada usia mereka yang terbilang muda. Mereka ditempa untuk belajar tanpa henti, mengikuti berbagai macam les atau kursus, demi mengikuti ujian penuh tekanan yakni ujian masuk perguruan tinggi.
Sebagian besar siswa di China cuma punya satu kesempatan untuk mengikuti ujian tersebut.
"Saya pikir orang-orang di Barat, orang-orang di luar China, tidak mengerti betapa sulitnya menjadi seorang anak [di China]," kata profesor ekonomi di Sekolah Manajemen Kellog Universitas Northwestern, Nancy Qian.
"Para pemuda berurusan dengan banyak kekecewaan dan kelelahan terpendam serta kebencian karena bekerja begitu keras," imbuh dia.
Tak sedikit anak-anak di China tumbuh di saat ekonomi Beijing berjalan dengan kecepatan penuh, serta saat masa depan tampak begitu menjanjikan.
Kendati demikian, sebagai hasil dari kebijakan satu anak China, mereka harus berurusan dengan harapan tinggi orang tua kala mereka sendiri bersaing dalam sistem yang kejam.
Mereka diberitahu bahwa semua pengorbanan selama ini akan terbayar begitu mereka sukses secara finansial. Namun sebaliknya, ketika dewasa, mereka dihadapkan dengan keadaan luar biasa di mana gaji mereka stagnan akibat ekonomi yang lesu serta budaya overwork atau jam kerja berlebih yang cukup intens.
"Ini merusak moral dan etos kerja yang telah diajarkan kepada mereka sepanjang hidup mereka. Mereka benar-benar kelelahan," kata Qian.
Dunia kerja tak sesuai harapan
Rasa kecewa muda-mudi China juga terjadi akibat pekerjaan mereka yang tak sesuai.
China dipenuhi anak-anak muda berpendidikan tinggi. Namun lowongan pekerjaan yang dibuka justru kebanyakan tak memerlukan gelar sarjana.
Artinya, ilmu yang mereka timba selama ini menjadi sia-sia.
"Mereka bekerja di pekerjaan yang mungkin relatif stabil, mungkin membayar dengan cukup baik, namun itu adalah pekerjaan yang biasanya tidak memerlukan gelar sarjana [seperti peran administratif di kantor distrik dan kurir pesan antar]," ucap profesor sosiologi di Universitas Columbia, Yao Lu.
Ketidakcocokan pekerjaan ini pun, kata Yao, menyebabkan pemuda sering tak puas dengan kehidupan dan pekerjaan mereka.
Veyron Mai, seorang penduduk Kota Foshan, merupakan salah satu anak muda yang merasakan ketidakcocokan ini. Veyron adalah sarjana musik, namun dia justru bekerja sebagai pencuci mobil dan pegawai restoran.
Pernah suatu ketika dia bekerja di musim panas sambil menggunakan bahan pembersih yang "sangat korosif" hingga merusak tangannya.
"Bahkan jika kamu memakai sarung tangan, itu masuk melukai tanganmu dan membuatnya jelek. Setelah saya bekerja di sana selama sebulan, saya merasa malu menunjukkan tangan saya kepada orang lain. Bagaimana saya bisa menyebut diri saya seorang sarjana musik?" ucap dia.