Cerita Dokter Operasi Pasien Tanpa Bius saat Israel Gempur Jalur Gaza

Sementara itu, The Independent juga merilis video kiriman yang menunjukkan petugas paramedis di Gaza merawat korban luka dengan genangan darah di lantai.

Dr Medhat Abbas, Direktur Rumah Sakit Al Shifa yang terbesar di Gaza, mengatakan beberapa korban luka bahkan terpaksa dibiarkan "meninggal karena luka-luka mereka" sebab tim medis kewalahan menangani jumlah korban yang terus meningkat, terutama setelah pemboman rumah sakit Al Ahli pada 17 Oktober lalu.

"Operasi dilakukan di koridor tanpa anestesi. Ratusan orang berada di koridor rumah sakit di depan ruang operasi dan di ruang gawat darurat di lapangan. Mayoritas adalah anak-anak," ujarnya.

Lihat Juga : Al Qaeda-ISIS Mulai Ikut-ikutan di Konflik Hamas-Israel

Seorang dokter unit gawat darurat di RS Al Shifa, Mohamed Ghanem, mengatakan tidak ada ruang tersisa di ruang operasi "karena banyaknya korban." Dia juga mengatakan bahwa para dokter mencoba melakukan operasi "di koridor tanpa anestesi apa pun."

Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Richard Peeperkorn, juga mengonfirmasi bahwa rumah sakit di Gaza benar-benar kehabisan pasokan obat dan peralatan medis.

"Kami tidak memiliki persediaan atau peralatan tersisa di gudang [kami] di Gaza. Rumah sakit bergantung pada persediaan terakhir mereka, [sementara] petugas kesehatan harus membuat pilihan yang mustahil untuk menjatah persediaan yang tersisa, termasuk beroperasi tanpa obat bius," ucap Peeperkorn.

Dikutip CNN, sejauh ini 12 rumah sakit dan 32 pusat medis di Jalur Gaza lumpuh akibat gempuran Israel.

"Para rumah sakit telah kehilangan kemampuan mereka untuk merawat pasien dan tim medis pun terpaksa merawat pasien dengan fasilitas dan kapasitas yang sangat terbatas," ucap juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Ashraf Al Qudra.