Selain ribuan anak yang tewas dalam serangan Israel, anak-anak di Gaza juga tak bisa mendapat makanan dan obat-obatan yang jelas melanggar Konvensi keempat Jenewa.
Hal ini karena Israel memblokade total pasokan makanan, air, listrik, hingga bahan bakar di Gaza.
"Kami nyaris tidak punya makanan yang cukup untuk memberi makan anak-anak kami," kata Zainab Matar, ibu dari empat anak, kepada Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak bisa memastikan anak-anak kami dalam keadaan hangat saat malam hari karena kami tak punya pakaian yang layak."
Bantuan kemanusiaan seperti pakaian dan makanan sendiri sebetulnya sudah mulai memasuki Gaza sejak 21 Oktober lalu. Namun, tak ada bahan bakar yang diizinkan masuk oleh Israel karena Tel Aviv takut akan dimanfaatkan Hamas untuk menyerang mereka.
Lantaran tak ada bahan bakar yang masuk, generator listrik pun tak bisa hidup. Salah satu akibatnya, alat-alat medis yang butuh listrik seperti inkubator tak bisa menyala.
Nyawa bayi-bayi yang memerlukan inkubator pun menjadi terancam.
Para ahli mengatakan kekacauan yang dialami anak-anak ini sudah pasti akan berefek serius dan jangka panjang pada kesejahteraan psikologis dan emosional mereka.
Konvensi Jenewa keempat menyebutkan bahwa anak-anak punya hak atas perlindungan lingkungan budaya dan pendidikan mereka.
Namun, Israel telah menggempur sekolah-sekolah, bahkan beberapa yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang juga menjadi tempat penampungan bagi warga yang kehilangan rumah akibat serangan.
Di bawah hukum internasional, penjajah seharusnya memastikan pendidikan mereka yang hidup di bawah kendali mereka.
Pengadilan-pengadilan seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag bisa meluncurkan penyelidikan guna menentukan apakah situasi di Palestina dan Israel melanggar hukum internasional.
Sejauh ini, sejumlah aktivis telah meminta ICC mengambil sikap atas agresi Israel di Jalur Gaza.
Di masa lalu, ICC sebetulnya sudah memulai penyelidikan terhadap potensi kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Palestina. Namun, lembaga itu belum meminta pertanggungjawaban siapa pun hingga kini.
Beberapa negara juga memiliki proposal sendiri dari anggota parlemen yang berkaitan dengan upaya memastikan Israel tetap mematuhi hukum internasional.
Di Kongres Amerika Serikat, ada beleid yang diperkenalkan pada Mei, yakni Rancangan undang-undang (RUU) nomor HR 2407 atau "Mempromosikan Hak Asasi Manusia untuk Anak-anak Palestina yang Hidup di Bawah Undang-Undang Pendudukan Militer Israel".
Beleid ini melarang pemerintah Israel menggunakan dolar pajak AS di Tepi Barat untuk tindakan seperti "penahanan militer, pelecehan, maupun perlakuan buruk terhadap anak-anak Palestina dalam penahanan militer Israel."
Meskipun Konvensi Jenewa mengharuskan pelanggar dihukum, nyatanya di masa lalu, tuntutan hukum semacam itu jarang terjadi karena berbagai alasan.
Mulai dari keterlibatan pejabat negara sendiri, orang-orang yang dituduh tidak berada dalam yurisdiksi negara, hingga sensitivitas politik lainnya, demikian menurut Lok Yip.
Apabila terjadi potensi pelanggaran, investigasi dan penuntutan akan ditangani oleh ICC. Dalam beberapa kasus, pengadilan khusus juga bisa saja dibentuk.
Kendati begitu, Israel, AS, dan Rusia adalah negara-negara yang tidak mengakui yurisdiksi ICC.
Presiden Rusia Vladimir Putin, misalnya, yang hingga kini tak bisa ditangkap dan diadili meski ICC telah mengeluarkan perintah penangkapan pada Maret lalu karena dugaan tuduhan pendeportasian anak-anak Ukraina secara ilegal ke Rusia.
(blq/rds)