Jakarta, CNN Indonesia --
Beberapa remaja Israel menolak wajib militer (wamil) lantaran tak setuju dengan agresi Tel Aviv di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menewaskan lebih dari 8.700 orang hingga Rabu (1/11).
Diberitakan kantor berita Turki Anadolu, remaja-remaja tersebut mestinya mengikuti wajib militer jika sudah menginjak usia 18 tahun.
Bagi laki-laki, wamil berlangsung selama 32 bulan. Sementara bagi perempuan, wamil berjalan selama 24 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka yang menolak wajib militer terancam hukuman penjara hingga 200 hari, serta mendapat tekanan dan pandangan buruk dari masyarakat.
Meski diancam penjara, ada beberapa remaja Yahudi yang enggan mendaftar wamil karena menilai kegiatan itu menindas orang-orang Palestina.
Tal Mitnick (18) merupakan satu dari segelintir remaja Israel yang tak mau mengikuti wamil karena merasa bahwa program tersebut menindas rakyat Palestina di daerah Bat Yam, selatan Tel Aviv.
"Saya percaya bahwa tentara Israel adalah kepanjangan tanggan operasional eksklusivisme Yahudi di wilayah ini. [Tentara Israel] bergantung pada penindasan rakyat Palestina dan saya menolak menjadi bagian dari kejahatan ini. Sebaliknya, saya akan melanjutkan aktivisme hak asasi manusia," ujarnya kepada Anadolu.
Mitnick mengatakan di Israel, pemikiran seperti dirinya merupakan minoritas. Namun demikian, menurutnya, situasi ini perlahan mulai berubah.
Daripada berpikir bahwa serangan Hamas 7 Oktober lalu sebagai sesuatu yang "mengerikan" hingga melegalisasi keinginan untuk balas dendam, Mitnick lebih suka mengubah keinginan balas dendam menjadi perasaan "menginginkan lebih banyak keamanan untuk semua orang."
Remaja yang baru lulus sekolah menengah atas (SMA) itu juga mengaku awalnya menilai serangan hari pertama Israel di Gaza merupakan balasan untuk "mempertahankan diri".
Kendati begitu, aksi militer negaranya kemudian berubah menjadi "agresi terhadap warga sipil" yang membunuh ratusan dan ribuan jiwa, mayoritas anak-anak.
[Gambas:Video CNN]
"Saya menolak untuk setuju dengan gagasan bahwa membunuh warga sipil di Gaza akan memberikan keamanan bagi semua orang. Itu tidak memberikan keamanan bagi siapa pun, baik itu rakyat Gaza maupun Israel. Saya percaya satu-satunya jalan menuju keamanan dan perdamaian terletak pada koeksistensi," ucapnya.
"Tinggal di tempat liberal seperti Tel Aviv, membuat orang-orang mengerti situasi saya, dan mereka menghormatinya. Salah satu sahabat saya saat ini sedang berperang di Gaza sebagai kombatan. Kami berdua tahu bahwa kami menginginkan keselamatan semua orang tapi kami punya pandangan berbeda tentang bagaimana keamanan itu dapat dicapai."
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ariel Davidov (19), remaja yang tinggal dekat Yerusalem Timur yang diduduki Israel, juga tak sepakat dengan agresi Tel Aviv di Gaza.
Sebagai orang yang berkontak dengan kelompok-kelompok yang mengadvokasi HAM, Davidov menyaksikan langsung bagaimana pasukan Israel menggunakan kekerasan berlebihan terhadap warga Palestina di lingkungannya seperti Sheikh Jarrah, Silwan, dan Isawiya.
Karena ini, Davidov menolak ikut wajib militer yang menurutnya adalah "bagian dari amoralitas dan ketidakadilan."
"Ada genosida yang telah berlangsung sejak awal keberadaan Zionisme. Itu tidak dimulai pada 1948 [berdirinya negara Israel] ataupun 1967 [tahun saat Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza diduduki Israel]," kata dia.
"Jauh sebelum itu, ada kolonialisme pemukim. Mereka ingin menggunakan tanah ini [Palestina] dan rakyatnya demi kepentingan mereka sendiri. Namun situasi ini tidak boleh berlanjut seperti ini."
Davidov juga menuturkan seharusnya ia muncul di pengadilan pada 16 Oktober karena menolak bertugas di militer. Namun, dia dibebaskan karena "alasan psikologis."
"Banyak teman dekat saya menolak ikut wamil. Kelompok yang terlibat dengan saya dalam aktivisme HAM telah menyerukan kepada semua orang untuk menolak bertugas di militer Israel. Ini adalah bagian utama dari perjuangan saya," tutur dia.
"Banyak teman saya yang berakhir di penjara karena menolak wamil. Belakangan mereka dihukum 150 hari penjara, sebelum ini hukumannya 200 hari. Beberapa ada yang 60 hari dan yang lainnya 50 hari. Saya kira itu terserah hakim."
Lebih jauh, Davidov menilai bahwa baik Israel maupun Palestina telah memasuki "fase baru pendudukan dan genosida" sejak perang pecah 7 Oktober lalu.
Davidov percaya serangan Hamas datang bukan tanpa alasan. Dia setuju bahwa pendudukan dan blokade Gaza selama ini merupakan alasan Hamas melancarkan serbuan ke Israel.
Davidov juga mengatakan aksi represif Israel bukan cuma dilakukan terhadap warga Palestina saja. Banyak temannya yang sudah merasakan langsung kekerasan militer Tel Aviv.
Beberapa temannya dipukuli kala mendokumentasikan video Yahudi menyerang warga Palestina guna mengusir mereka dari Tepi Barat.
Sementara itu, remaja lainnya, Ella Keidar, mengaku tak mau wajib militer karena meyakini bahwa setiap orang berhak hidup bebas dan sehat.
"Saya tidak ingin wajib militer yang menegakkan pendudukan, menerapkan rezim rasis, dan menindas rakyat Palestina dalam proyek eksploitasi ini," kata Keidar.
Remaja perempuan tersebut meyakini bahwa satu-satunya solusi untuk konflik Israel-Palestina adalah politik, bukan militer.
"Seperti orang Israel, orang Palestina juga berhak mendapatkan kebebasan. Saya percaya pada kemungkinan masa depan yang setara, yang mencakup hak untuk kembali bagi orang-orang Palestina [ke tanah di mana Israel mengusir mereka]," ucapnya.