Negara-negara Liga Arab dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) melakukan pertemuan luar biasa di Riyadh, Arab Saudi, pada Sabtu (11/11) lalu untuk membahas eskalasi konflik di Jalur Gaza, Palestina, yang semakin hari semakin berkecamuk.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri para pemimpin negara itu menelurkan komunike yang salah satunya sepakat mengecam agresi Israel di Jalur Gaza, termasuk kejahatan perang dan pembantaian baik di daerah kantong tersebut, Tepi Barat, maupun Yerusalem.
Para pemimpin juga kompak menolak untuk menggambarkan aksi Israel sebagai "pembelaan diri" dan tidak membenarkan apa pun dalih yang dipakai Tel Aviv untuk melancarkan serangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam komunike juga tertulis bahwa para pemimpin menuntut Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengambil resolusi yang tegas dan mengikat guna menyetop agresi dan tindakan Israel yang telah melanggar hukum humaniter internasional.
Para pemimpin juga mendesak semua negara berhenti mengekspor senjata dan amunisi kepada Tel Aviv, yang bisa digunakan militer membunuh rakyat Palestina dan menggempur rumah, rumah sakit, sekolah, hingga tempat ibadah.
Komunike ini sendiri membuahkan 31 putusan bersama untuk merespons kebrutalan Negeri Zionis. Pada intinya, komunike mengecam segala aksi keji dan brutal Israel di Gaza yang menewaskan warga sipil.
Namun demikian, tidak satupun poin menyinggung soal sanksi ekonomi maupun diplomatik terhadap negara bekingan Amerika Serikat itu.
Lantas, apakah hasil KTT ini memiliki peran signifikan untuk menghentikan agresi Israel di Gaza?
Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, menilai KTT di Riyadh masih belum mampu menghentikan Israel melancarkan agresinya di Gaza.
Dia menjelaskan pernyataan bersama yang dikeluarkan para pemimpin negara Arab dan Muslim itu "tidak dalam bentuk aksi kolektif untuk menghukum Israel."
Pasalnya, tidak ada sanksi apa pun yang diambil, seperti misalnya ekonomi, untuk mengikat tangan dan kaki Negeri Zionis. Karenanya, kecaman-kecaman yang dilayangkan pun hanya tampak seperti macan kertas saja.
"Sebuah potret yang berbeda dengan negara-negara Barat dan aliansinya yang melakukan tindakan kolektif menghukum Rusia [atas agresinya di Ukraina] secara bersama-sama melalui instrumen ekonomi. Dampaknya lebih terukur," ucap Sya'roni kepada CNNIndonesia.com.
Sya'roni sendiri mengamini bahwa di tubuh organisasi tersebut, masih ada selisih pendapat dalam merespons isu Palestina.
"Terutama Iran yang cenderung strict terkait itu, embargo terhadap AS. Sementara negara Arab seperti Mesir, Saudi, dan Yordania cenderung hati-hati karena masih memiliki ketergantungan pada AS," tutur Sya'roni.
Iran untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Saudi demi menghadiri KTT, usai Maret tahun ini resmi rujuk dengan Negeri Minyak lewat perundingan damai yang dimediasi China.
Iran dan Saudi berdamai setelah tujuh tahun putus hubungan, salah satu pemantiknya karena serangan demonstran di kantor diplomatik Saudi di negara itu.
Dalam KTT ini, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengusulkan sejumlah seruan embargo, di antaranya embargo minyak dan barang Israel, sebagai upaya untuk menghentikan agresi di Gaza.
Namun demikian, permintaannya ini ditolak sejumlah negara Arab mulai dari Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.
Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 usai bersitegang bertahun-tahun karena Perang Arab-Israel 1948. Yordania kemudian menyusul pada 1994, diikuti Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain pada 2020 melalui Abraham Accords.
Jalinan hubungan diplomatik ini kemungkinan membuat negara-negara Arab tak bisa berkutik untuk mengambil langkah konkret, termasuk lewat instrumen ekonomi.
Ini dipertegas oleh analis Saudi, Ali Shihabi, di X (sebelumnya Twitter) yang menyebut "minyak tidak bisa dan tidak akan pernah digunakan sebagai senjata politik."
"Ini adalah sumber kehidupan bagi negara-negara penghasil minyak dan harus dilihat sebagai komoditas yang dapat diandalkan oleh penggunanya," ucapnya, seperti dikutip The National News.
"Setiap upaya untuk melakukan hal sebaliknya hanya akan mempercepat perpindahan konsumen dari minyak," lanjut dia.
Bersambung ke halaman berikutnya...