Walaupun Putin tidak menghadapi persaingan nyata dalam pemilu, ia dihadapkan pada konflik yang terjadi dengan Ukraina.
Perang di Ukraina memicu adanya konfrontasi terbesar dengan Barat sejak Krisis Rudal Kuba tahun 1962. Sanksi yang dijatuhkan Barat membuat perekonomian Rusia mengalami guncangan paling hebat dalam sejarah Rusia selama beberapa dekade.
Putin juga mengalami pemberontakan yang gagal oleh tentara bayaran paling kuat di Rusia, Yevgeny Prigozhin, pada Juli lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prigozhin telah tewas dalam kecelakaan pesawat yang terjadi setelah dua bulan pemberontakan. Sejak saat itu, Putin semakin memperketat kendalinya.
Barat menggambarkan Putin sebagai pemimpin diktator dan penjahat perang yang ingin merampas tanah Ukraina.
Bagi Putin, perang tersebut merupakan perjuangan untuk menciptakan tatanan dunia baru dengan Amerika Serikat. Namun, para elit Kremlin menyatakan perang tersebut bertujuan untuk memecah belah Rusia, mengambil sumber dayanya, dan melakukan penyelesaian dengan China.
Walaupun Putin gagal dalam pertaruhannya memenangkan perang pada Februari 2022, negara Barat juga gagal mengalahkan Rusia dan mengusir tentara Rusia dari Ukraina.
Tidak ada pihak yang melaporkan jumlah pasti korban tewas dalam perang tersebut, namun diperkirakan ratusan ribu pria Ukraina dan Rusia telah tewas serta terluka.
Serbuan balasan yang diluncurkan Ukraina tahun ini nyatanya gagal menciptakan situasi yang membaik. Rusia masih menguasai 17,5 persen wilayah Ukraina dan posisi Putin justru lebih aman daripada sebelumnya.
Rusia memprediksi perekonomiannya yang bernilai $2,1 triliun agar bertumbuh lebih pesat dibandingkan zona Euro dan Amerika Serikat.
Rusia berhasil menjual minyaknya ke seluruh dunia.
Kondisi perpolitikan Rusia semakin mengerikan di masa-masa perang dengan birokrasi yang lambat dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
Pecahnya Uni Soviet 1991 membawa harapan bahwa Rusia akan berkembang menjadi negara demokrasi terbuka. Namun, pihak oposisi dan jurnalis justru kini takut mengungkapkan pendapat mereka.
Alexei Navalny, politisi oposisi yang dipenjara, mengatakan bahwa Putin membawa Rusia dalam jurang kehancuran dan membangun sistem penjilat korupsi. Pada akhirnya akan terjadi kekacauan, bukan stabilitas.
Yekaterina Duntsova, calon presiden dari oposisi menyatakan ketakutannya dan ingin agar perang Ukraina segera berakhir.
"Ketika di Eropa dan Amerika Serikat mereka mengatakan bahwa Rusia dan Rusia adalah Putin - itu tidak benar. Saya bukan pendukung rasa bersalah kolektif," ungkap Duntsova.
"Keputusan itu tidak diambil oleh semua orang yang tinggal di negara ini," imbuhnya.
(isa/bac)