WAWANCARA EKSKLUSIF

Pakar Asing Blak-blakan soal Masa Depan RI di Bawah Prabowo

Anisa Dewi | CNN Indonesia
Kamis, 28 Mar 2024 09:00 WIB
Prabowo Subianto resmi menang Pilpres 2024. (AFP/BAY ISMOYO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pakar politik dan keamanan internasional Universitas Murdoch dari Australia, Ian Wilson, blak-blakan soal masa depan RI dari demokrasi hingga soal hubungan internasional di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.

Di pemilu kali ini, Jokowi secara tak langsung mendukung Prabowo. Anak presiden RI itu, GIbran Rakabuming, juga menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo.

Wilson menilai pecah kongsi bisa terjadi jika hubungan Prabowo dan Jokowi tak baik.

Di kesempatan ini, Wilson juga membeberkan situasi hak asasi manusia di Indonesia, nasib papua, hingga sikap Prabowo di panggung internasional termasuk ke China.

Berikut wawancara khusus CNNIndonesia.com dengan Ian Wilson pada Kamis (21/3).

KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia semalam. Menurut Anda bagaimana Prabowo akan memimpin Indonesia?

Iya itu sebenarnya pertanyaan yang sulit dijawab, Cuma jawaban yang spekulatif karena kami belum tahu.

Koalisi pemerintahannya seperti apa, misalnya satu dinamika yang akan sangat menentukan adalah apakah partai politik PDIP dan PKS mau bergabung di koalisi di bawah Presiden prabowo dan Wakil Presiden Gibran atau tidak atau mau menjadikan yang disebut oposisi.

Itu akan sangat menentukan karena dalam penafsiran saya mungkin kecenderungan Prabowo secara pribadi ke politik yang agak otoriter walaupun Prabowo yang sekarang ini bukan Prabowo yang dari 10 tahun lalu.

Tapi kecenderungan reflek politiknya ke sana. Namun, dia tidak bisa berbuat semau dia dalam konteks-pola pola kekuatan politik elit. Itu akan sangat menentukan ke depan.

Saya merasakan biasanya dalam sistem Indonesia yang fokus kepada koalisi kepresidenan, presiden harus membangun koalisi untuk membangun kuasa dengan stabil istilahnya. Itu akan menjadi tugas dia dan akan memakan cukup tenaga untuk bisa menyenangkan partai.

Prabowo dalam kampanye mengatakan dia ingin [dalam pemerintahan] ya, cita-citanya terdiri dari semua pihak, dalam arti semua parpol mau diajak. Itu konsep pemerintah dia yang tanpa oposisi.

Dalam arti oposisi bukan dilarang tapi diajak, semua dikooptasi. Jadi saya merasakan proses itu akan memakan waktu tidak sedikit (lama) dan apakah dia berkuasa secara parlementer dengan mayoritas atau minoritas juga akan sangat menentukan paling sedikit (setidaknya) satu dua tahun ke depan itu.

Situasi di depan bergantung oposisi, bagaimana jika PDIP dan PKS menjadi oposisi?

Saya harus jelaskan bahwa saya sebut oposisi tapi saya melihat kecenderungan di politik Indonesia sangat parlementer, oposisi secara program, secara ideologi, tidak begitu ada dibanding misalnya sistem yang ada di Australia, ada Partai Buruh ada Partai Liberal yang jelas ideologi politik yang sangat berbeda.

Dengan konteks Indonesia yang saya sebut deal-dealisme. Jadi itu akan ada deal-deal antar parpol itu berarti akan bekerja dengan yang lain. Tidak ada halangan secara ideologis untuk itu terjadi.

Oposisi bukan berarti mereka mengacu pada suatu program yang bertentangan dengan pemerintah. Kami melihat di masa kepemimpinan Jokowi hampir semua partai 90 persen perwakilan yang ada di DPR masuk ke koalisinya Jokowi
Dan itu semua terjadi. Dan saya merasa oposisi menjadi suatu posisi untuk meningkatkan daya tawar, untuk apa yang mereka inginkan, untuk negosiasi.

Misalnya PDIP dan ini sangat spekulatif ya. Saya tidak tahu pemikiran mereka sekarang ini, tapi ya paling tidak, mungkin mereka melihat apakah mereka bisa menjadi bagian, sebelum mereka memikirkan untuk bisa menjadi bagian dari koalisi pemerintah.

Selama kampanye bahkan hingga hari ini banyak publik yang membicarakan soal HAM. Apalagi Prabowo punya catatan pelanggaran HAM di masa lalu dan Gibran dianggap anak haram konstitusi. Nah bagaimana Anda memandang situasi HAM di Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo?

Ya, saya kira paling sedikit perlindungan hak asasi manusia tidak akan menjadi prioritas. Dalam hal itu mungkin tidak begitu berbeda dengan presiden Jokowi yang pada awalnya ada banyak janji kepada korban, ada banyak janji kepada aktivis HAM tapi akhirnya tidak ada penyelesaian berbagai kasus.

Termasuk kasus yang menjadi bagian kabinet dia termasuk presiden baru Indonesia PakPrabowo itu.

Jadi saya kira secara politik dan ideologi prabowo tidak akan perhatikan HAM, mungkin hasil dari Pemilu akan dianggap dan disampaikan sebagai legitimasi supaya tidak membahas soal HAM atau tidak dipikirkan soal HAM.

Mengingat kampanye dia banyak yang fokus untuk mengarahkan pikiran orang bahwa tuduhan pelanggaran HAM yang sebenarnya basis faktanya cukup jelas dari dulu, termasuk fitnah, kampanye hitam, dan sebagainya itu.

Dan mungkin hasil dari pemilu membenarkan kampanye itu.

Jadi saya merasa untuk sementara ini tidak akan ada lanjut (penegakan HAM). Yang mungkin dikhawatirkan kelompok sipil-LSM, HAM bukan hanya tidak ada kemajuan tapi ada kemungkinan kemunduran dalam soal HAM, tidak akan ada usaha untuk mengusut kasus yang sudah lama, bahkan ada yang baru, bahkan tidak ada usaha untuk memperkuatkan perlindungan HAM di Indonesia yang sebenarnya mungkin secara hukum ada tapi secara praktis politik sangat lemah sampai sekarang ini.

Dan paling tidak masa lalu ya Pak Prabowo itu sendiri, kami melihat dengan perilaku Presiden Jokowi untuk memberi bintang kehormatan kepada dia, mungkin dibaca banyak orang untuk mensucikan masa lalu.

Saya rasa membaca sentimen dari kelompok LSM sangat [mereka] putus asa untuk masa depan HAM di Indonesia di bawah kepresidenan Pak Prabowo itu

Terkait Papua kan terus menjadi sorotan. Bahkan. Di salah satu debat capres Prabowo pernah mengatakan salah satu solusinya adalah menambah pasukan. Jadi dia lebih memilih pendekatan militer daripada dialog konstruktif. Bagaimana Anda melihat nasib Papua di bawah pemerintahan Prabowo?

Mungkin saya bisa jawab yang kerangkanya lebih luas sedikit. Bahwa dalam penyelesaian konflik seperti yang ada di Papua, yang dulu seperti yang adanya di Aceh dan yang sekarang di Timor Leste, itu bisa berbagai cara dan itu sudah terbukti cara yang terbaik.

Terbaik dalam arti meminimalkan korban, meminimalkan kekerasan dan sebagainya adalah membuka dialog dan kolaborasi.

Masalahnya yang selalu dihadapi banyak keadaan seperti itu, termasuk dalam sejarah Indonesia itu sendiri adalah semua pihak harus bersikap untuk berkompromi, harus siap untuk berkompromi.


Dan kalau punya sikap harga mati dan sebagainya itu retorikanya tidak memungkinkan ada negosiasi yang bisa menghasilkan perdamaian dan sebagainya.

Jadi masalahnya kalau ada misalnya kami bisa membandingkan dengan kasusnya di Aceh di bawah Kepresidenan Megawati dulu yang sebenarnya juga meningkatkan pasukan dan keberadaan militer di Aceh itu sangat memperburuk keadaan.

Dan itu malah memberikan legitimasi kepada kelompok-kelompok yang berlawanan secara bersenjata dan risikonya adalah ini menjadi sebuah siklus yang meningkatkan kekerasan di Papua.

Saya khawatir kalau mungkin refleknya ke solusi militer, karena memang latar belakangnya di situ dan memang ada pengalaman tersendiri di Papua terkait jejak HAM dan sebagainya, itu mungkin bisa memprovokasi kelompok-kelompok yang ada di sana dan itu tidak akan berhasil jadi membaik.

Jadi kemungkinan akan menjadi lebih buruk jika menggunakan pendekatan militer versi Prabowo?

Ya saya tidak bisa membaca pikiran beliau, jadi saya tidak tahu. Dan saya mengharapkan dalam pemerintah yang ada berbagai pandangan bisa membentuk pendekatan yang tidak mengarahkan ke solusi militer.

Karena solusi militer menggunakan yang kohesif dan sebagainya itu yang sudah terbukti tidak berhasil untuk menyelesaikan masalah itu dan malah terkait dengan banyak kasus pelanggaran HAM dan sebagainya.

Jadi saya mengharapkan tidak [menggunakan pendekatan militer].

Tapi, kalau melihat kecenderungan dengan politisi yang latar belakang militer adalah untuk memframing dan memikirkan solusi dalam arti absolut, absolut dalam arti harus menumpas, harus menghabiskan dan sebagainya perlawanan yang ada di sana. Dan saya kira pendekatan itu tidak akan selesai dengan baik.

Ya saya kira banyak pihak mengharap tidak dengan cara militer tapi kalau melihat latar belakangnya Prabowo ada kemungkinan besar ya memang refleknya ke situ.

Di tulisan Anda yang Election Ends All Elections bapak menyinggung soal RUU DKJ. Undang-Undang ini kalau disahkan Gubernur DKI akan dipilih presiden. Apakah ini salah satu upaya kubu Prabowo untuk mempertahankan kekuasaan mengingat kandidat presiden biasanya dari Gubernur DKI?

Itu jawabannya panjang lebar sebenarnya. Karena ada dua konteks. Mungkin konteks pertama dan tulisan saya satu tujuannya coba untuk mengingatkan jejak politik Prabowo dan juga partainya yaitu Gerindra.

Dan manifesto Gerindra cukup jelas bahwa mereka cita-citanya mengembalikan Indonesia ke konstitusi asli 1945, itu berarti konstitusi sebelum amandemen pasca reformasi yang menjadi landasan untuk adanya Pemilu di Indonesia, adanya Pilkada, ada batasan terhadap masa berlakunya presiden dan juga merupakan bagian dari perlindungan HAM dan sebagainya,

Dengan retorika yang mau kembali ke naskah asli 1945 yang mungkin untuk banyak masyarakat Indonesia itu terikat dengan sentimen nasionalisme dan sebagainya itu tidak salah. Tapi secara hukum artinya kembali ke sistem pra reformasi itu.

Dan itu jejaknya sudah tahun 2014, Koalisi Merah Putih di bawah Gerindra di masa transisi antara kepresidenan Pak Susilo Bambang Yudhoyono dan Pak Jokowi pada masanya periodenya yang pertama itu memang mengubah legislasi terkait pemilu untuk menyelesaikan kembali ke sistem Orde Baru.

Artinya bahwa Gubernur dan sebagainya tidak dipilih lewat pemilihan umum tapi ditunjuk oleh DPRD atau DPR atau bahkan langsung oleh presiden.

Dan itu wacana yang tidak pernah menghilang sampai sekarang ini.

November tahun lalu misalnya, di DPD dan MPR juga mengeluarkan statement bahwa mereka berpendapat bahwa perubahan konstitusi Indonesia sudah bertentangan dengan Pancasila dan mestinya kembali ke naskah asli 1945. Itu juga bahasa yang lain untuk kami tidak mau terus ada Pilkada.

Dan itu wacana yang sebenarnya tidak hanya ke Prabowo, hampir semua partai.

PKB misalnya, sudah berpihak atau berpendapat lama bahwa mestinya Pilkada dipikirkan kembali dengan wacana bahwa Pilkada itu makan uang, kena money politic dan sebagainya itu, memecah belah demokrasi. Sebenarnya ada proses untuk memecah belah, sebenarnya ada dua wacana yang berbeda.

Wacana yang lama kalau yang masih mengingatkan Orde Baru bahwa semua yang termasuk pilihan untuk masyarakat juga sering diframing sebagai memecah belah.

Jadi saya lihat wacana itu tetap ada dengan adanya ada kesempatan. Ini bukan konspirasi ya, sudah dipikirkan jauh. Tapi ada kesempatan dan peluang yang terbuka dengan adanya semua Pemilu pada 2024 karena itu berarti ada masa jabatan Pemilu Daerah yang sudah terpilih selesai, misalnya Gubernur DKI Anies Baswedan selesai 2022 misalnya, ada PJ Daerah.

Nah itu sudah menjadi kesempatan dan saya sudah menulis ini sebelumnya, kesempatan untuk mengetes, untuk eksplorasi bagaimana tanggapan masyarakat terhadap ada kepala daerah yang tidak dipilih lewat Pilkada tapi ditunjuk oleh Mendagri dan Presiden.

Dan adanya wacana keluar dari Mendagri dan sebagainya bahwa ini cukup asyik, ini pejabat yang dipilih berdasarkan keterampilan dan kemampuannya.

Maka di atas kepentingan politik dan sebagainya, sebagai wacana alternatif bahwa ini cara yang lebih baik daripada Pemilu, Pilkada yang rawan, yang begini begitu, yang tidak tentu menghasilkan pemimpin yang kompeten dan sebagainya.

Jadi ini sebenarnya menjadi wacana yang sudah lama. Hanya dengan adanya sekarang Prabowo menjadi presiden memang ini menjadi satu hal yang partainya Gerindra dan dia sendiri sudah lama membahas bahwa sebenarnya arah demokrasi Indonesia sudah tidak sesuai dengan Pancasila, sudah tidak sesuai dengan cita-cita proklamator dan sebagainya.

Dan ini menjadi satu wacana yang mengusik demokrasi Indonesia bahwa sebenarnya demokrasi Indonesia tidak mestinya lewat Pilkada, Pemilu dan multipartai tapi mesti kembali ke sistem musyawarah, misalnya bahwa sistem alternatif yang oleh nasionalis kanan biasanya disebut sistem yang asli Indonesia itu.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Wawancara Eksklusif dengan Pakar Asing Ian Wilson


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :