Polemik anggapan rasialisma yang disebut dilakukan warga Korsel menuai kontroversi. Tak sedikit warganet yang beranggapan aksi rasisme tersebut berujung pada fenomena xenophobia.
Xenophobia merupakan bentuk ketakutan dan kebencian terhadap seseorang yang bukan berasal dari tanah airnya atau warga negara asing.
Menurut studi yang dilakukan Sojin Yu dari Universitas Sheffield, ia menemukan fenomena xenophobia yang terjadi terhadap warga non-Korsel saat mereka hidup bertetangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam artikel jurnal bertajuk "Migrant racialization in South Korea: class and nationality as the central narrative", ia menemukan beberapa orang yang menjadi sampel penelitiannya kerap mengalami rasialisme dari warga lokal.
Bahkan, mereka yang memiliki warna kulit serupa kerap mendapatkan perilaku rasisme yang terjadi secara tiba-tiba.
"Dalam perjalanan pulang dari berbelanja, beberapa pria (Korea) yang mengobrol di depan toko serba ada menanyakan asal saya. Saya bilang Uzbekistan. Dan mereka berkata, 'oh, saya tahu ada banyak wanita cantik Rusia dan Uzbekistan di klub malam terdekat,'" demikian ungkapan dari salah satu informan penelitian bernama Daria dalam artikel jurnal tersebut yang merupakan warga asing di Korsel.
"Pada dasarnya, mereka menganggap saya sebagai pelacur begitu mereka menyadari bahwa saya bukan berasal dari negara di Eropa atau Amerika," ia menambahkan.
Dalam jurnal itu juga menyebut bagaimana orang Korsel melihat perbedaan warga asing berdasarkan status ekonomi negara asalnya.
"Saya mendapat diskriminasi sepanjang waktu hanya karena saya berasal dari Vietnam. Di jalan, di pasar, di tempat kerja. Ketika saya bilang saya berasal dari Vietnam, orang-orang Korea langsung memandang saya sebagai orang yang miskin dan putus asa, menikah dengan pria Korea tua yang tidak punya uang," tulis Yan yang menjadi salah satu narasumber artikel tersebut.
Pada perspektif lain, menurut artikel jurnal yang dibuat In-Jin Yoon bertajuk "Who is My Neighbor?: Koreans' Perception of
Blacks and Latinos as Employees, Customers, and Neighbors", pengaruh rasialisme orang Korsel didapatkan ketika berhadapan dengan lingkungan yang dihuni oleh masyarakat ras berbeda.
Artikel jurnal itu menyimpulkan warga Korsel mengalami gegar budaya usai melihat berbagai perilaku dari warga kulit hitam AS yang menjadi pegawai ataupun pelanggan di toko mereka.
Alhasil, studi tersebut menyatakan sikap rasialisme muncul ketika imigran Korsel melihat warga kulit hitam sebagian besar tidak sesuai dengan prinsip hidup yang mereka percayai.
"Orang Korea tidak mengidentifikasi diri mereka dengan orang kulit hitam, melainkan berusaha menjauhkan diri dari mereka. Mereka melakukan diskriminasi terhadap orang kulit hitam, dalam praktik perekrutan, sering mengalami bentrokan dengan mereka sebagai pelanggan, dan menunjukkan stereotipe tentang mereka sebagai tetangga," demikian tertulis dalam jurnal tersebut.
(val/bac)