PM Sheikh Hasina kemudian mengerahkan sayap mahasiswa partainya, Liga Chhatra Bangladesh (BCL), dan polisi untuk meredam protes. Enam orang tewas akibat kekerasan pada 16 Juli.
Selama empat hari berikutnya, lebih dari 200 orang tewas, sebagian besar mahasiswa dan warga biasa. Polisi dan kader bersenjata BCL menembakkan peluru tajam ke arah demonstran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pengunjuk rasa bagaimanapun menuntut permintaan maaf Hasina atas kekerasan, pemblokiran internet, serta menuntut dibukanya kembali kampus dan dibebaskannya mereka yang ditangkap.
Namun, bukannya mengabulkan tuntutan, Hasina malah fokus pada kerusakan properti pemerintah seperti kereta metro dan gedung televisi milik negara.
Hasina juga membantah telah melakukan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa, demikian dikutip Reuters.
Responsnya ini lagi-lagi membuat mahasiswa naik pitam. Oleh sebab itu, demo yang awalnya menuntut sembilan poin reformasi, termasuk permintaan maaf tanpa syarat Hasina, kini menyatu menjadi satu seruan: pengunduran diri Hasina.
Sejak menjabat sebagai perdana menteri pada 2009, Hasina telah menghadapi kritik atas pemerintahannya yang tumbuh otokratis. Ia membatasi kebebasan berbicara serta menindak perbedaan pendapat dan oposisi.
Masa jabatan Hasina sebagai kepala pemerintahan perempuan terlama di Bangladesh pun ditandai dengan penggunaan pasukan keamanan, salah satunya paramiliter Batalyon Aksi Cepat.
Batalyon ini sangat terkenal dan dituduh digunakan Hasina untuk menculik dan bahkan membunuh anggota oposisi serta pembangkang. Hasina bersama pasukannya pun dituding mencurangi pemilu.
(isa/bac)