Korea Times memberitakan satu ruang obrolan di Telegram, baik yang berbayar dan bot gratis langsung mengubah gambar menjadi foto telanjang, berdasarkan penyelidikan polisi.
Ruang obrolan itu menawarkan dua gambar deepfake pertama secara gratis, kemudian beralih ke sistem berbayar yang mengenakan biaya US$0,49 atau sekitar Rp7.579,20 per foto dalam mata uang kripto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga 21 Agustus, ruang obrolan tersebut telah diikuti hampir 227.000 pengguna daring.
Menurut data Badan Kepolisian Nasional yang dilaporkan ke kantor Rep. Cho Eun-hee dari Partai Demokrat Korea (DPK), jumlah kejahatan terkait deepfake meningkat dari 156 pada 2021 menjadi 160 pada 2022, dan 180 pada 2023.
Meskipun teknologi berkembang pesat, hukum dan sistem berjuang untuk mengimbangi dalam mencegah munculnya kegiatan kriminal.
Meskipun Undang-Undang AI diusulkan selama Majelis Nasional ke-21, undang-undang tersebut gagal disahkan dan dibuang sebelum mencapai ambang batas persetujuan.
Profesor Kim Myung-joo dari Seoul Women's Universitu menilai hukum benar-benar harus ditegakkan di Korea Selatan sebagai bentuk keseriusan memberantas deepfake.
"Undang-Undang Hukuman Kekerasan Seksual tidak secara efektif meningkatkan kesadaran karena hukumannya, yang seringkali ringan bagi pelanggar pertama kali, tidak berfungsi sebagai pencegah yang kuat," kata Kim Myung-joo yang mendesak hukuman lebih berat untuk kejahatan deepfake.
Komisi Komunikasi Korea berencana untuk menanggapi video deepfake dengan tegas, meskipun mengidentifikasi distributor masih menjadi tantangan karena Telegram memiliki server di luar negeri.
(chri)