Jakarta, CNN Indonesia --
Amerika Serikat (AS) masih menggunakan sistem Electoral College dalam menentukan pemenang di pemilihan presiden (Pilpres).
AS juga menggunakan popular vote yakni suara yang diberikan rakyat untuk kandidat presiden. Namun, suara ini tak menentukan pemenang. Pemenang pilpres ditentukan dari electoral college.
Artinya, jika kandidat tertentu memenangkan suara dari popular vote, tetapi dia kalah di electoral college, maka dia tak bisa menjadi presiden AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa pihak menilai pemilu dengan sistem electoral college aneh dan antidemokrasi. Wacana untuk mengubah sistem ini pun pernah didengungkan.
Lalu, mengapa AS masih menggunakan sistem ini?
Electoral College merupakan dewan yang memberi suara secara langsung mewakili negara bagian dalam pemilu.
Para elector baru akan memilih setelah hasil suara dari popular vote dihitung. Di Pemilu kali ini, pertemuan elector akan berlangsung pada 16 Desember 2024.
Untuk bisa memenangkan Pilpres AS, kandidat harus memperoleh suara mayoritas college setidaknya 270 dari 538 suara.
Artinya, pemenang Pilpres AS tak selalu merupakan kandidat yang memperoleh suara terbanyak, tetapi yang mengantongi suara mayoritas elektoral.
Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa 530 elektor yang menentukan pemenang bukan 330 juta warga AS.
Orang-orang yang mengkritik sistem tersebut juga mengatakan electoral college tak demokratis dan rasis.
"Dari perspektif 2024, Anda tahu, tidak tampak demokratis jika ada badan perantara semacam ini antara orang-orang yang memberikan suara dan keputusan akhir," kata pakar hukum tata negara di Universitas Chicago Alison LaCroix, dikutip NPR.
LaCroix juga tak menampik banyak yang mempertanyakan soal electoral college termasuk fungsi sistem ini. Sejak Konstitusi AS diratifikasi, lebih dari 1.000 amandemen telah diusulkan untuk mengubah atau menghapus Electoral College.
Usulan itu menawarkan solusi jelas: presiden harus menjadi kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Sebagian besar jajak pendapat juga punya narasi yang sama. Survei yang dilakukan lembaga riset Pew Research Center pada September 2023 menyebut lebih dari 60 persen mendukung penghapusan Electoral College.
Artinya dua dari tiga orang warga AS mendukung perubahan sistem pemilu. Arsip Nasional AS juga mencatat terdapat lebih dari 700 upaya untuk membongkar proses tersebut.
"Ada lebih banyak usulan untuk amandemen Konstitusi mengenai perubahan Electoral College dibandingkan dengan subjek lainnya," demikian menurut Arsip Nasional.
Namun, perubahan itu tak semudah berucap. Profesor sejarah di AS John Sacher mengatakan di AS tak mudah mengubah amandemen konstitusi.
Amandemen perlu dukungan dari dua pertiga masing-masing cabang di Kongres dan tiga perempat dari negara bagian. "Memperoleh dukungan Kongres terbukti bermasalah," kata Sacher di situs resmi Universitas Central Florida.
Kongres di AS terdiri dari DPR dan Senator. Pada 1969, perubahan konstitusi hampir berhasil. DPR sepakat, tetapi Senat menolak.
"Meskipun dua pertiga warga Amerika mungkin mendukung perubahan dalam Electoral College, kepemimpinan Partai Republik saat ini tidak mendukung," ujar Sacher.
Dalam 24 tahun terakhir, dua orang Republik yakni George W. Bush dan Donald Trump memenangkan kursi kepresidenan dengan suara lebih sedikit daripada lawan mereka
Namun, dalam 19 pemilihan sejak Perang Dunia II, electoral college telah menguntungkan Demokrat sembilan kali dan Republik sepuluh kali.
Pendukung sistem electoral college mengatakan sistem ini sebagai menyeimbangkan kekuasaan antara negara bagian yang besar dan kecil.
Mereka juga berpikir sistem tersebut membawa stabilitas dan merupakan hambatan bagi para perusuh.
Meminimalkan kecurangan?
Setiap pemilu selalu muncul tuduhan kecurangan suara. Namun, dalam sistem ini tuduhan itu tak terbukti. Sacher mengatakan Electoral College berhasil mengatasi Sebagian besar kecurangan suara.
AS adalah satu-satunya negara yang masih menggunakan Electoral College. "Jika negara lain telah menemukan cara untuk menjalankan pemilihan presiden nasional, haruskah Amerika Serikat mempertimbangkan untuk melakukan perubahan?" ungkap dia.